Kamis, 24 November 2011

“KUNJUNGAN BUDAYA DAN KULIAH ALAM SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN KARAKTER BERBASIS KEARIFAN LOKAL BAGI MAHASISWA BARU ”

Oleh : Muhammad Basir Mtd

A. Latar Belakang
Pendidikan adalah yang utama dan terutama di dalam kehidupan era masa sekarang ini. Sejauh kita memandang maka harus sejauh itulah kita harus membekali diri kita dengan berbagai pendidikan. Kita jangan salah memahami bahwa pendidikan diperoleh dengan cara menempuh jalur formal saja, dengan cara datang, duduk, mendengar dan selanjutnya hingga akan memperoleh penghargaan dari test yang sudah dilewati.
Pendidikan dapat diperoleh dengan berbagai cara terlebih lagi semakin mendukungnya perkembangan alat-alat elektronika sekarang ini. Dengan mudah kita beroleh informasi tentang perkembangan zaman baik dari belahan bumi barat terlebih lagi dari negara tetangga.
Pendidikan, pengetahuan dan keterampilan adalah tiga unsure yang akan menentukan masa depan seorang manusia. Hal ini tergantung sejauh mana masing-masing individu membekali dirinya tentang ketiga hal di atas. Sepintas lalu, mungkin banyak cara yang ditempuh oleh masing-masing individu. Dan cara inipun memungkinkan sejauh mana kualitas pencapaian pengetahuan dan keterampilannya.
Lumrahnya mahasiswa baru yang masih terlena dengan euphoria keremajaannya di SMA/sederajat dan rentan sekali terhadap pengaruh kebudayaan-kebudayaan yang tidak sehat. Tidak mustahil bahwa mereka seringkali “terkejut” ketika menginjakkan kakinya ke dalam dunia kampus dengan nuansa ilmiah yang lebih. Berbagai aktifitas mereka jalani secara kompleks sehingga mereka terbangun sendiri bahwa mereka adalah mahasiswa.
Selain itu, dalam era globalisasi, arus informasi begitu deras mengalir, batas-batas geografis juga tidak menjadi hal yang berarti. Hal ini menyebabkan banyak terjadi pencampuran budaya maupun nilai-nilai yang ada. Seringkali anak anak bahkan mahasiswa lebih mengetahui hasil kebudayaan modern dibandingkan dengan kebudayaan di sekitarnya. Ditambah lagi dengan kondisi lingkungan yang kurang kondusif dimana sikap egoistis dan individualis menjadi ancaman bagi kepribadian individu. Sering pula kita silau dengan budaya maupun nilai-nilai luar menganggap hal itu lebih baik dibanding budaya sendiri. Rasa keminderan/inferioritas merasuk dalam diri anak bangsa. Sehingga terlahirlah sikap asertif terhadap kebudayaan kita sendiri. Akhir dari segalanya adalah terjadinya pembekuan karakter mahasiswa, dan lama kelamaan akan larut seiring perkembangan zaman.
Hal di atas juga seringkali menimpa mahasiswa khususnya mahasiswa baru. Sehingga dikhawatirkan akan terjadi kepunahan terhadap kebudayaan bangsa sendiri. Sikap egoistis yang tinggi akan mengiring generasi muda buta akan kebudayaan Indonesia.
Melihat fenomena tersebut, maka kita sebagai anak bangsa memerlukan sebuah desain jangka panjang agar generasi muda khususnya insane akademis muda tidak buta akan kebudayaan dan kearifan local bangsa Indonesia. Kita perlu memberikan suplemen yang mampu mendoktrin mahasiswa sebagai agent of change dan social control khususnya penanaman karakter berorientasi pada kebudayaan dan kearifan local.
Maka, sangat menarik jika kita mendesain sebuah acara dalam rangka penanaman karakter berbasis kearifan local yang terangkum dalam kunjungan budaya dan kuliah alam.

B. Pembahasan

1. Kearifan Lokal
Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai ‘kearifan/kebijaksanaan’.
Lokal secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut settting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah-laku mereka.
Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban. Secara substansial, kearifan lokal itu adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat. Oleh karena itu, sangat beralasan jika Greertz mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal itu berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit dan masyarakatnya adalah yang menentukan dalam pembangunan peradaban masyarakatnya.
Teezzi, Marchettini, dan Rosini mengatakan bahwa akhir dari sedimentasi kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama. Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari.
Proses sedimentasi ini membutuhkan waktu yang sangat panjang, dari satu generasi ke generasi berikut. Teezzi, Marchettini, dan Rosini mengatakan bahwa kemunculan kearifan lokal dalam masyarakat merupakan hasil dari proses trial and error dari berbagai macam pengetahuan empiris maupun non-empiris atau yang estetik maupun intuitif. Kearifan lokal lebih menggambarkan satu fenomena spesifik yang biasanya akan menjadi ciri khas komunitas kelompok tersebut, misalnya alon-alon asal klakon (masyarakat Jawa Tengah), rawe-rawe rantas malang-malang putung (masyarakat Jawa Timur), ikhlas kiai-ne manfaat ilmu-ne, patuh guru-ne barokah urip-e (masyarakat pesantren), dan sebagainya.

2. Pentingnya Kearifan Lokal
Model pendidikan berbasis kearifan lokal adalah model pendidikan yang memiliki relevansi yang tinggi bagi pengembangan kecakapan hidup (life skill) dengan bertumpu pada pemberdayaan keterampilan dan potensi lokal di masing-masing daerah. Dalam model pendidikan ini materi harus memiliki makna dan relevansi tinggi terhadap pemberdayaan hidup mereka secara nyata berdasarkan realitas yang mereka hadapi. Kurikulum yang harus disiapkan adalah kurikulum yang sesuai dengan kondisi lingkungan hidup, budaya, minat dan kondisi psikis peserta didik.
Pendidikan berbasis kearifan lokal adalah pendidikan yang mengajarkan peserta didik untuk dekat dengan situasi konkrit yang mereka hadapi. Beberapa aspek kehidupan yang menyangkut kearifan lokal antara lain:
1. Kebijaksanaan setempat
2. Pengetahuan setempat
3. Kecerdasan setempat

Cara yang paling efektif untuk melestarikan kearifan lokal sekaligus mengembangkan nilai yang terkandung di dalamnya adalah melalui pendidikan, baik formal maupun non-formal. Secara non-formal dapat dilakukan di waktu liburan sebagai sarana pengisi liburan dengan kegiatan yang bermanfaat, maka Kunjungan Budaya dan Kuliah Alam dapat menjadi solusi. Ada dua manfaat yang dapat diambil yakni sebagai pengisi liburan yang bermanfaat sekaligus penanaman nilai-nilai dari kearifan lokal sejak dini.

3. Mahasiswa Baru
Secara psikogis, posisi mahasiswa baru bisa disamaratakan dengan masa peralihan dalam hal pemikiran. Euforia semasa SMA/sederajat yang mereka nikmati masih kental dalam memori dan masih mempengaruhi system kognisi mereka. Sensitifitas perasaan masih bersemayam dalam jiwa muda mereka. Kondisi psikologis seperti ini akan mempengaruhi pola pergaulan dan pola interaksi social mereka. Bahkan mereka dalam beberapa hal tidak akan selektif seperti untuk memilih teman, untuk beraktifitas dan rentan mudah terpengaruh dengan kebudayaan dan pola hidup modern yang menurut kacamata etika tidak cocok dengan kebudayaan bangsa Indonesia.
Berbicara masalah karakter mahasiswa baru. Labil adalah kesan pertama yang harus kita sematkan. Oleh karena itu, dalam rangka membangun karakter tersebut. Perlu beberapa hal yang bias menarik minta mereka. Dalam tulisan ini, kita akan mencoba penanaman karakter berbasis karifan local melalui kunjungan budaya dan kuliah alam.

4. Pembangunan Karakter
Dalam sejarah perjalanan bangsa, Indonesia dikenal memiliki banyak kekayaan karakter, yaitu bangsa yang memiliki karakter pejuang, bangsa yang percaya dengan Tuhan, gotong royong, ramah-tamah dan memilki semangat kekeluargaan. Namun ternyata negara dan pranata yang ada belum bisa mentransformasi modal sosial yang potensial tersebut untuk membangun etos kerja yang kuat dan tidak membuahkan semangat perubahan.
Kampus/ Perguruan Tinggi merupakan salah satu lembaga pendidikan formal yang secara sistematis melaksanakan program bimbingan, pengajaran dan latihan dengan tujuan melatih potensinya. Sehingga pengembangan karakter pada usia yang rentan atau pada saat usia mahasiswa merupakan waktu yang tepat dengan bimbingan yang tepat dapat lebih mengoptimalkan potensi yang nantinya diarahkan sesuai dengan karakter bangsa.
Menurut Havighurst (1961:5) sekolah, dalam hal ini kampus memiliki peran atau tanggung jawab penting dalam membantu siswa mencapai tugas perkembangannya. Pengembangan karakter siswa harus didukung oleh kualitas para guru/ dosen baik menyangkut karakteristik pribadi maupun kompetensinya. Guru/ dosen diharapkan dapat membentuk karakter sisiwa/mahasiswa yang sesuai dengan karakter bangsa.
Pembangunan karakter juga bias disalurkan melalui berbagai kegiatan ekstra kampus. Wadah tersebut di desain sedemikian rupa sesuia denga karakter atau kecenderungan mahasiswa baru. Ada kegiatan ekstra yang berorientasi pada bidang keagamaan, bidang olahraga, bidang music, dan lain sebagainya.Dalam rangka penempaan karakter, secara menyeluruh akan di desain acara, biasanya, dalam dunia kampus dikenal dengan inegurasi atau pembekalan mahasiswa baru. Tapi cara ini sudah lama diterapkan dan belum terbukti efektif dalam menempa karakter mahasiswa baru menjadi mahasiswa yang seutuhnya. Oleh karena itu, ada baiknya dengan cara kunjungan budaya dan kuliah alam diharapkan mampu menempa karakter mahasiswa baru.

5. Pentingnya Pembangunan Karakter
Bangsa Indonesia dikenal memiliki banyak kekayaan karakter, yaitu bangsa yang memiliki karakter pejuang, bangsa yang percaya dengan Tuhan, gotong-royong, ramah-tamah dan memiliki semangat kekeluargaan. Namun karakter tersebut seakan sia-sia karena belum menjadi modal untuk menjadi bangsa yang besar dan bermartabat. Kita justru melihat bahwa kekayan karakter yang luar bisa tersebut malah tidak dimanfatkan justru menghasilkan kenyataan yang menyedihkan. Korupsi, inefisiensi kerja, pemalas merupakan cap yang diberikan kepada bangsa kita.

Kemerosotan karakter ini tidak hanya terjadi pada individu maupun kelompok tetapi sudah masuk ke dalam sistem. Dan untuk membenahi sistem ini tentu saja perlu membenahi manusia yang membuatnya. Akan tetapi memperbaiki karakter manusia yang sudah dewasa akan lebih sulit dibandingkan dengan membangun karakter anak-anak sejak dini.
Dalam pembangunan karakter, anak harus dibawa ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan analis secara afektif akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Dalam istilah pedagogiknya disebutkan dari genosis sampai ke praksis. Untuk sampai ke praksis ada satu peristiwa batin yang amat penting yaitu munculnya keinginan yang kuat untuk mengamalkan nilai. Peristiwa ini disebut conatio dan langkah untuk membulatkan tekad ini disebut konatif.
Kita mengetahui bahwa Pendidikan karakter sejak dini merupakan proses edukasi dalam upaya mempersiapkan dan mengembangkan sikap mental sejak awal dalam menghadapi problema kehidupan khususnya remaja. Di dalamnya, terkandung 5 aspek non-fisik yang diharapan bisa terbentuk, yaitu :
a. Kualitas kepribadian (meliputi kedewasaan, ketahanan mental, dan kemandirian)
b. Kualitas bermasyarakat (meliputi kesetiakawanan sosial dan kemampuan bermasyarakat)
c. Kualitas kekaryaan, kualitas wawasan lingkungan dan kualitas spiritual keagamaan

6. Kebudayaan
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.

7. Penerapan Kunjungan Budaya dan Kuliah Alam
1. Definisi
Kunjungan Budaya dan Kuliah Alam merupakan sebuah paket acara yang dilaksanakan secara beruntun selama 3-4 hari dikonsep dengan acara pemberian materi tentang karakter dan berbagai pergerakan mahasiswa yang harus disikapi dan diaplikasikan oleh masing-masing peserta. Di dalamnya terkandung pengenalan budaya setempat yang di dalamnya terkandung substansi dan nilai-nilai bagi pembangunan karakter berbasis kearfan lokal.
2. Tujuan
Tujuan kegiatan ini adalah membangun karakter mahasiswa baru dengan menyadarkan mereka bahwa mereka adalah generasi penerus bangsa berlandaskan nilai-nilai kearifan lokal yang berada di daerahnya. Dengan mengenal budaya serta nilai-nilai yang ada diharapkan mahasiswa selain dapat mengenal budayanya sendiri juga dapat mengambil nilai-nilai positif yang ada. Dengan nilai-nilai positif ini diharapkan dapat menjadi dasar pijakan bagi untuk membangun Indonesia dan bersaing di dunia global.
3. Sasaran Peserta
Sasaran pesertanya adalah mahasiswa baru. Mahasiswa baru ini dibagi menjadi 2-4 kelompok. Pembagian ini semata-mata dimaksudkan untuk memotivasi mahasiswa baru tentang perlunya kerjasama tim dalam menggalang pergerakan.


4. Pelaksanaan Program
Paket kegiatan ini dilakukan selama 3-4 hari. Dilaksanakan di alam bebas misalnya di komplek perkemahan dan objek-objek kebudayaan yang berada di sekitar lingkungan siswa. Dalam pelaksanannya didasarkan pada pedoman pembangunan karakter yang telah dibuat dengan standar yang telah ditentukan oleh panitia / BEM kampus setempat.

C. Kesimpulan dan Saran
Kunjungan Budaya dan Kuliah Alam adalah cara efektif yang dapat dilakukan sebagai upaya pembangunan karakter bagi mahasiswa baru dengan menekankan nilai-nilai kearifan lokal. Hal ini cukup mudah dilaksanakan karena disesuaikan dengan kondisi individu masing-masing. Materi yang disampaikan pada acara ini mengambil dari kebudayaan setempat yang menagandung nilai-nilai kearifan lokal. Serta menyuguhkan berbagai materi atau suplemen tentang kemahasiswaan, sebagaimana layaknya acara-acara kaderisasi sebuah organisasi mahasiswa kampus. Namun bedanya, idealnya acara ini diselenggarakan oleh sebuah instansi resmi kampus seperti BEM atau Himajur, dan sebagainya.
Saran untuk ke depan :
1. Perlu adanya perhatian khusus dari seluruh pemangku kebijakan yang berkenaan dengan pendidikan agar dapat memperhatikan pengenalan dan penanaman kearifan local kepada mahasiswa baru.
2. Sebagai bahan masukan kepada pemerintah terutama pada perancannagan kurikulum agar memeprbanyak porsi isi kurikulum dalam hal pemabangunan karakter, denagn melandaskan diri pada kebudayaan dan
nilai local yang terkandung didalamnya.
3. Program Kunjungan Budaya dan Kuliah Alam dapat digunakan sebagai alternatif pilihan sbagai ekstrakurikuler ataupun program pengisi yang bermanfaat.

“Pendekatan Profil Guru dan Pendekatan Budaya : Solusi Pembangunan Karakter Bangsa Indonesia Masa Kini dan Masa Depan”

Oleh :
Muhammad Basir Matondang (**)

Latar Belakang
Kita prihatin dengan berbagai konflik yang telah terjadi di beberapa daerah di tanah air. Pertahanan sosial masyarakat Indonesia seolah-olah gampang jebol oleh hal-hal sepele. Maka terjadilah berbagai penyimpangan-penyimpangan social yang mampu memberikan dampak negative terhadap keberlangsungan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini bertambah parah dengan merasuknya penyimpangan social tersebut ke dalam ranah pendidikan. Yang notabenenya pendidikan merupakan sector pemerintah yang konsen terhadap penggodokan, penempaan dan ranah penciptaan generasi penerus yang unggul.

Masih segar dalam ingatan kita berbagai pemberitaan di media massa maupun media elektronik, Tawuran antar pelajar, geng-geng motor, narkoba, dan lain sebagainya 90% melibatkan remaja, generasi penerus bangsa. Dari berbagai penyimpangan tersebut sudah banyak memakan korban jiwa. Bahkan seluruh instansi penegak hukum pun kalang kabut akibat dari tindakan-tindakan asocial tersebut. Padahal konon selama ini, masyarakat Indonesia tergolong aman, tenteram, harmoni dan memiliki daya tahan social yang cukup bagus. Tapi itulah yang terjadi sekarang.

Jika boleh berpendapat. Masalah keharmonisan sangat tergantung pada konstruksi. Boleh jadi, dulu masyarakat Indonesia suka terlibat dalam konflik, hanya tidak terpublikasi secara meluas seperti sekarang ini. Namun, jika di telaah lebih mendalam lagi, sesungguhnya tidak ada masyarakat yang benar-benar bebas akan konflik. Mindset masyarakat Indonesia terlalu lalai dengan mitos bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dan berperadaban tinggi. Lalu ketika terjadi konflik, hal ini dianggap tabu dan melanggar adat istiadat. Sehingga muncullah pemberitaan yang terkesan dilebih-lebihkan . Hal ini berlanjut sampai sekarang. Makanya, secara langsung maupun tidak langsung, konflik di Indonesia menyerang dua pihak yang memiliki peran penting dalam percaturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Yaitu pihak pelaku yang di dominasi oleh pelajar dan pihak media yang seharusnya memberikan keterangan yang sesungguhnya malah merontokkan konstruksi social masyarakat.

Karena itu, yang diperlukan sekarang adalah merekonstruksi kembali bangunan moral dan social masyarakat. Kita harusnya terbuka dengan berbagai instansi pemerintah dalam menjalankan tugas pokok dan fumgsinya terutama pihak kepolisian yang menjalankan tugasnya langsung berhadapan dengan masyarakat. Namun, lebih dari itu kita menghendaki ada strategi jangka panjang untuk merekonstruksi tatanan social dalam masyarakat Indonesia agar tercipta masyarakat yang dewasa, maju dan bermoral tinggi. Dan jawabannya hanya akan di dapatkan di dunia pendidikan.

Selayang Pandang Wajah Pendidikan di Indonesia.
Membicarakan pendidikan di Indonesia, agaknya tidak akan pernah selesai. Tujuan akhir dari pendidikan di Indonesia seperti di tutupi oleh kelamnya kabut permasalahan bangsa. Berbagai seminar, lokakarya, pelatihan bahkan undang-undang tentang pendidikan sudah sering dilakukan dan diperbuat oleh pemerintah Indonesia. Tapi hasilnya justru kadang-kadang membuat system pendidikan kita semakin tidak terarah. Apalagi pameo : ganti menteri, ganti kurikulum sepertinya masih terjadi. Dan itu dianggap tidak salah.

Belum lagi ancaman sekulerisasi pendidikan oleh berbagai kepentingan. 66 tahun Indonesia merdeka, pendidikan di Indonesia mengalami proses politisasi dan proses komersialisasi yang menyedihkan. Politisasi dilakukan oleh negara dengan cara melaksanakan berbagai kebijakan yang berubah-ubah yang bermaksud untuk menjinakkan daya kritis anak-anak generasi penerus bangsa. Proses seperti ini adalah proses alami yang mampu tereduksi ke ranah kognitif anak-anak yang menanamkan bahwa pendidikan hanyalah sebuah nama tanpa kebijakan dan program yang jelas. Sehingga mampu mempengaruhi pola piker dan tingkah laku anak dalam melakoni pendidikan itu sendiri. Proses doktrinisasi seperti ini paling tampak pada masa orde lama dan orde baru.

Lewat politisasi pula penyeragaman system dan kurikulum pendidikan dipaksakan. Dengan demikian upaya masyarakat yang “bosan” terhadap doktrin politis ini melahirkan pendidikan alternatif yang steril dari virus politisasi selalu dihambat atau malahan dilumpuhkan. Sebab dikhawatirkan, pendidikan alternatif akan menghasilkan generasi bangsa yang kritis, idealis dan mampu merumuskan segala permasalahan bangsa serta memecahkan masalah tersebut di luar jalur yang dikehendaki oleh negara.

Dalam proses sosiologi, 66 tahun pula kita mengenal apa yang disebut dengan proses komersialisasi dalam pendidikan di Indonesia. Hal ini berawal dari kegelisahan masyarakat. Masyarakat yang terus berubah dan berkembang pesat membutuhkan sumber daya manusia yang tidak sekedar berkapasitas sebagai tukang rendahan. Lebih dari itu, merekan membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Ternyata kebutuhan itu tidak di jawab oleh departemen dan lembaga-lembaga pendidikan yang seyogyanya sudah dikendalikan oleh negara.

Dengan demikian, masyarakat menempuh jalannya sendiri. Untuk pengembangan anak bangsa perlu berbagai fasilitas infrastruktur yang membutuhkan biaya mahal. Berbagai upaya dilakukan oleh masyarakat hingga akhirnya melahirkan berbagai pendidikan alternatif. Parahnya, system ini diadopsi oleh berbagai lembaga pendidikan yang dikendalikan oleh negara. Muncullah isu adanya kelas unggulan sekolah unggulan dan sebagainya. Tentunya kita tidak akan menyalahkan hal tersebut. Selama itu memberikan dampak positif dan mampu mendongkrak kualitas alumni-alumni pendidikan. Namun ada beberapa fenomena. Hal seperti ini dijadikan ladang oleh kaum kapitalis untuk meraup untung yang sebesar-besarnya. Sehingga muncullah kesan pendidikan mahal. Dan masyarakat hanya bisa melihat proses ini secara berkelanjutan tanpa mengevaluasi perjalanan pendidikan alternative tersebut. Dan babak baru dalam dunia pendidikan pun dimulai, komersialisasi pendidikan yang menjamur.

Guru : Actor of Character Building
Fantastik. Bermula dari sebuah isu sampai “booming” sebagai bahan pembicaraan semua ahli pendidikan di Indonesia. Pendidikan Karakter sepertinya menjadi secercah harapan di tengah ombak dan badai kompleksitas permasalah pendidikan Indonesia. Bermula dari kegelisahan yang bisa dirasakan oleh nurani setiap orang. Sepintar apapun seseorang ternyata tidak menjamin mulianya akhlak seseorang.

Di luar negeri, mereka memikirkan generasi penerus ke depan. Oleh karena itu, khususnya di pendidikan mereka menempa generasi penerus yang memiliki integritas moral yang tinggi, sopan santun dan berakhlak mulia. Bisa jadi hal ini tercapai karena dalam proses pendidikan, mereka melibatkan semua elit politik, presiden, public figure, lingkungan dan keluarga untuk turut mencontohkan kebaikan kepada mereka. Jadi seolah-olah semua perisitiwa yang terjadi di sekitar siswa menjadi bahan pembelajaran dan bahan renungan bagi siswa, bukan hanya pelengkap kurikulum semata.

Kita bandingkan dengan Indonesia. Indonesia tidak kekurangan orang-orang yang pintar untuk melahirkan gagasan mengangkat keterpurukan Indonesia. Namun kebanyakan orang yang pintar malah dilatih untuk menindas orang yang bodoh. Korupsi merajalela, jabatan system dinasti, dan komersialisasi merambah ke semua lini pemerintahan. Contoh kecilnya perekrutan personil atau PNS untuk setiap jenjang lembaga pemerintah seperti jualan tahu. Mau lulus sebagai PNS, berani bayar berapa?. Inilah salah satu bentuk komersialisasi.

Pendidikan karakter bisa diaplikasikan dengan bermacam-macam pendekatan. Diantaranya adalah pendekatan profil guru dan pendekatan budaya. Secara historis, berbagai momen kebangkitan di Indonesia di mulai oleh pergerakan kaum terdidik. Nama besar seperti Sutomo, Soekarno, Hatta dan Syahrir merupakan kaum terdidik yang kemudian memberikan kontribusi riil terhadap kebangkitan bangsa. Mereka adalah guru bangsa yang memiliki karakter yang luar biasa. Soekarno bahkan disegani oleh pemimpin negara lain di masanya.

Sekarang, dengan mencuatnya pendidikan karakter. Mau tidak mau, sosok guru menjadi tumpuan awal yang bermain sebagai aktor dalam pembangunan karakter itu sendiri. Masalahnya, bagaimana mungkin seorang guru atau bahkan seorang presiden sekalipun memainkan peran sebagai aktor pembangunan karakter sementara mereka sendiri tidak memiliki karakter yang mumpuni dalam melakoni proses pengkaderan tersebut.

Hal ini akan terjawab jika Guru memiliki kesadaran yang tinggi terhadap etik profesi guru. Merenungi kembali tupoksi-nya sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Dan yang terpenting adalah guru menyadari bahwa dia adalah insane yang terdidik dan terlatih untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertanggung jawab penuh terhadap moral anak bangsa di masa depan. Kesadaran merupakan hal awal yang harus dibangun oleh sosok guru.

Guru sebagai actor pembangunan karakter harus memiliki keteladanan yang baik bagi anak didiknya. Keteladanan ini bisa berbentuk pengayoman dan pemberian ilmu pengetahuan tanpa membedakan anak didik berdasarkan suku, agama dan ras. Di sisi lainnya adalah memberikan keteladanan untuk mematuhi peraturan sekolah, tutur sapa, dan sebagainya. Trik-trik keteladanan bisa dimulai dengan hal-hal yang sederhana seperti di atas.

Guru juga harus mampu mendesain berbagai program pembelajaran yang memiliki muatan-muatan positif terhadap perkembangan kognitif, afektif dan psikomotor anak didik. Salah satunya adalah dengan mengaktifkan berbagai kegiatan ekstra yang bisa jadi mengurangi kegiatan siswa “diluar” yang memiliki potensi negative terhadap perkembangan anak.

Pendekatan Budaya
Pendidikan karakter untuk membangun karakter bangsa khususnya generasi penerus sebenarnya bukan wacana yang baru. Hal ini sudah dilakoni oleh Soekarno pada zaman dahulu. Saat beliau menjabat sebagai presiden republic Indonesia, melalui kebijakannya beliau membangun sebuah stadion yang pada zamannya merupakan salah satu stadion dengan teknologi tinggi dan tergolong megah. Yah, Stadion Gelora Bung Karno merupakan contoh konkret pembangunan karakter bangsa melalui pendekatan budaya. Saat itu, pembangunan stadion tidak main tender seperti yang terjadi pada wisma atlet sekarang. Dahulunya, stadion tersebut di bangun melalui gotong royong seluruh masyarakat Indonesia. Budaya gotong royong inilah yang menjadikan stadion tersebut berdiri tegak. Bahkan saat itu merupakan salah satu stadion pali fenomenal di dunia.

Kemudian, Soekarno juga membangun sebuah bangunan yang bersejarah saat itu. Tugu Monumen Nasional yang sering kita kenal dengan nama Tugu Monas. Pembangunan tugu yang sekarang menjadi ikon ibu kota Jakarta ini dahulunya sempat mendapat kritikan dari berbagai kalangan, terutama kalangan mahasiswa. Karena saat itu, penempaan emas sebagai puncak tugu dianggap sebagai pemborosan. Namun, dampaknya bisa kita rasakan sekarang. Kota Jakarta, Ibu kota negara republic Indonesia terkenal dengan tugu Monas-nya. Dan bangsa lain mengacungkan jempol terhadap bangunan tersebut.

Seolah-olah Soekarno memiliki prediksi sempurna terhadap masa depan Bangsa dengan berbagai kebijakannya. Terbukti bahwa pendekatan budaya bisa menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat dan berkarakter di mata bangsa lain.

Yang terjadi sekarang ini adalah pertarungan budaya. Budaya global memiliki kekuatan yang teramat kuat. Ia menggilas tidak saja budaya local, tetapi juga melindas budaya nasional. Kekuatan budaya global tersebut didukung oleh kekuatan media komunikasi, baik itu televise, internet, Koran-koran dan majalah. Yang menjadi persoalan adalah budaya global merupakan ciptaan dari budaya barat yang notabene tidak sama dengan budaya bangsa Indonesia yang condong dengan budaya timur.

Karena adanya pertarungan budaya tersebut, disinilah momentum untuk menempa karakter anak didik dengan sadar akan kepemilikan atas budaya sendiri, jangan sampai hasil budaya bangsa Indonesia di klaim dan di rampas oleh bangsa lain. Secara alami, idealisme anak didik akan tumbuh sampai akhirnya mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku anak. Anak akan bangga dengan Indonesia, dan akhirnya mampu berkontribusi riil bagi bangsa dan negara serta masyarakat Indonesia. Tanpa sadar, maka tercapailah Indonesia yang yang aman, tentram, harmoni dan memiliki ketahanan social yang tinggi.

Penutup
Kemarin adalah sejarah. Hari esok adalah Misteri. Tetapi hari ini adalah anugerah. Setidaknya perkataan bijak ini tidak berlebihan menjelaskan tentang keberadaan bangsa dan negara kita. Apapun yang telah terjadi, jadikanlah itu sebagai pelajaran hidup, direnungi dan dievaluasi sebagai pegangan kita masa kini dan masa depan. Kita tidak bisa melihat arah pendidikan karakter di masa depan, tapi kita bisa melihat pendidikan karakter kemarin dan hari ini.
Diharapkan dengan hadirnya sosok guru, sosok pahlawan tanpa tanda jasa mampu memberikan pencerahan pendidikan dengan memainkan perannya sebagai aktor pembangunan karakter. Menghasilkan generasi-generasi unggulan dan siap bersaing di kancah era persaingan bebas. Penempaan prinsip, sopan santun, integrasi moral yang tinggi dan karakter yang kuat akan membimbing individu melahirkan idealism yang berdampak positif terhadap ketahanan social dan ketahanan nasional bangsa Indonesia.
Demikian pula dengan pendekatan budaya. Rasa kepemilikan akan budaya bangsa sendiri secara alami akan menumbuhkembangkan idealism yang kuat. Bagaimana kelanjutannya ? Waktu akan menjawab.

Sabtu, 17 September 2011

Jenis-Jenis Strategi Pembelajaran Organisasi

Jenis-jenis Strategi Organisasi
Trianto (2007:94) membagi strategi organisasi menjadi tiga jenis. Yaitu Outlining, Pemetaan Konsep (Concept Mapping) dan Mnemonics. Untuk lebih jelas akan dipaparkan satu persatu sebagai berikut.
a. Outlining
Dalam Outlining atau membuat kerangka garis besar, siswa belajar menghubungkan berbagai macam topik atau ide dengan beberapa ide utama. Dalam proses pembuatannya, jenis hubungan yang akan dibangun adalah satu topik kedudukannya lebih rendah terhadap topik lain. Misalnya yang terdapat dalam sebuah daftar isi buku, atau list proses yang berjalan tahap demi tahap.
b. Pemetaan Konsep (Concept Mapping)
Dalam Ninik Sri Widayati (Copyright © 2011 Scribd Inc.), pemetaan konsep dilakukan dengan membuat suatu sajian visual atau diagram tentang ide-ide penting suatu topik tertentu. Artinya pemetaan konsep menyajikan bahan-bahan pelajaran khususnya ide-ide kunci melalui struktur yang baru dan mudah dimengerti oleh siswa. Beberapa hal lebih efektif dibandingkan dengan outlining.
c. Mnemonics
Menmonics merupakan metode untuk membantu menata informasi yang menjangkau ingatan dalam pola-pola yang dikenal, sehingga lebih mudah dicocokkan dengan pola skemata dalam memori jangkan panjang. Mnemonics terdiri atas 2 teknik yaitu teknik Chunking (pemotongan) misalnya untuk mengenal no Hp lebih mudah 081385764411 diadakan pemotongan 0813-8576-4411 dan Akronim (singkatan). Misalnya ABRI singkatan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Rabu, 07 September 2011

KONVENSI SASTRA (TAMBAHAN)

Ada tiga konvensi sastra lagi yang harus kita ketahui dan pahami agar dapat menginterpretasi atau memberi makna karya sastra. Tiga hal itu adalah kerangka kesejarahan: hubungan intertekstual, jenis sastra, dan aliran sastra. Maksud ketiga konvensi tersebut dijelaskan secara singkat berikut ini.

A. Kerangka Kesejarahan: Hubungan Intertekstual
Selain tiga konvensi di atas dibutuhkan untuk memahami karya sastra, ada satu hal lagi yang harus diperhatikan, yaitu kerangka kesejarahan: hubungan antartekstual, yakni hubungan satu karya sastra dengan karya sastra yang yang lain. Hubungan tersebut adalah hubungan suatu karya sastra yang sedang dipahami dengan karya atau teks yang dicipta sebelumnya pada periode sebelumnya maupun dengan karya atau teks sastra yang sezaman.
Dalam kaitannya dengan usaha memberi makna sebuah karya sastra dengan jalan menyejajarkannya dengan karya sastra sebelumnya yang menunjukkan adanya perta¬lian, adalah apa yang disebut dengan hubungan intertekstual, yaitu hubungan antarteks.
Dasar intertekstualitas adalah prinsip persamaan (vraisdmhahle ) teks yang satu dengan teks yang lain sebagai dikemukakan Culler (1977:139). Ia mengemukakan pendapat Julia Kristeva bahwa setiap teks itu merupakan penyerapan dan transformasi teks-teks lain, setiap teks itu merupakan mosaik kutipan-kutipan dari teks lain. Hubungan ini dapat berupa persamaan atau pertentangan (Cf. Teeuw, 1983:65). Dikeniu, ialah Riffaterre (1978:11, 23) bahwa sajak -(tieFs-) yang menjadi latar penciptaan sebuah karya sastra (teks) yang lain itu disebut hipogram. Karya sastra yang menjadi hipogram diserap dan ditransformasikan ke dalam teks sastra sesudahnya yang menunjukkan adanya persamaan itu. Dengan menjajarkan sebuah teks dengan teks yang menjadi hipogramnya, maka makna teks tersebut menjadi jelas, baik teks itu mengikuti atau menentang hipogramnya. Begitu juga, situasi yang dilukiskan menjadi lebih terang hingga dapat diberikan makna sepenuhnya.”
Sebagai sebuah contoh dapatlah dikemukakan sajak Chairil Anwar yang berjudul “Penerimaan” (1959:36) yang menyerap dan mentransformasikan sajak Amir Hamzah yang berjudul´”Kusangka” (1959:19).
Dalam perkembangan sejarah berbagai tema silih berganti digemari. Dalam sastra Indonesia terdapat beberapa tema yang selalu hadir, ada juga yang kadang-kadang muncul. Kadang-kadang kita menyaksikan semacam mode. Misalnya, pada tahun 20-an roman yang ditulis banyak yang berte¬makan putus cinta antara dua remaja. Namun, gejala ini belum memberikan cukup alasan untuk berbicara jenis roman yang bertemakan tentang putus cinta. Karena pada masa-masa berikutnya tema ini tergeser oleh kehadiran tema-tema lain yang cukup bervariasi. Pembagian-pembagian tematik mustahil disusun secara deduksi. Ada beberapa alasannya, (i) karena pada da¬sarnya dapat dibayangkan seribu satu tema, (ii.) penyebaran sebuah tema terikat akan tempat dan waktu, (iii) tema-tema itu sering tumpang tindih, dan (iv) pembagian ini tidak dapat dihubungkan dengan pembagian ahistorik menurut situasi bahasa seperti telah diuraikan di atas.


B. Jenis Sastra
Sebelum kita tetapkan tentang pengertian genre beserta cakupannya. Rene Wellek & Austin Warren mengatakan bahwa “Teori genre adalah suatu prinsip keteraturan: sastra dan sejarah sastra diklasifika sikan tidak berdasarkan waktu atau tempat (periode atau pembagian sastra nasional), tetapi berdasarkan tipe struktur atau susunan sastra tertentu” ( 1989:299). Pada bagian ini yang akan dibicara¬kan adalah genre sastra sebagai suatu karya sastra. Dari definisi di atas dapat disimpul.kan bahwa karya-karya sastra yang ada diklasifikasikan ke dalam suatu kelas atau kelompok berdasarkan struktur atau susunan sastra tersebut.
Berkenaan dengan klasifikasi atau pembagian sastra telah begitu banyak kita kenal. Pembagian itu dimulai dari pembagian secara garis besar atau secara umum sampai kepada pembagian berdasarkan ciri-ciri khusus suatu karya sastra. Dari pembagian yang sudah ada kita mengenal bentuk sastra puisi, fiksi, dan drama. Seorang kri.tikus abad ke-18, Thomas Hankins membagi drama Inggris ke dalam beberapa species, yakni misteri, moraliti, tragedi, dan komedi. Pada abad ke-18, prosa dianggap terdiri dari dua species, yaitu novel dan romansa(Well.ek & Warren,1989).
Dalam kesusastraan Indonesia ke dalam jenis prosa tercakup cerita pendek (cerpen), novel dan roman. Novel. menurut sudut pandang dan terra yang digarap dibedakan atas novel kedaerahan, novel psikolo¬gi, novel sosial, novel gotik, novel sejarah, novel detektif, dan novel biografi ( Eddy,1991).
Pembagian manakah di antara pemba¬gian-pembagian di atas yang disebut sebagai genre? Pembagian sastra atas bentuk puisi fiksi, dan drama disebut dengan “pembagian pokok”. Prosa fiksi yang terdiri dari tiga species; cerpen, novel, dan roman inilah yang disebut sebagai “genre” (Sedangkan, pembedaan novel atas novel kedaerahan, novel psikolo¬gi) kita tetapkan tentang pengertian genre beserta cakupannya.
Rene Wellek dan Austin Warren mengatakan bahwa “Teori genre adalah suatu prinsip keteraturan: sastra dan sejarah sastra diklasifika– sikan tidak berdasarkan waktu atau tempat (periode atau pembagian sastra nasional), tetapi berdasarkan tipe struktur atau susunan sastra tertentu” ( 1989:299). Pada bagian ini yang akan dibicara¬kan adalah genre sastra sebagai suatu karya sastra. Dari definisi di atas dapat disimpul.kan bahwa karya-karya sastra yang ada diklasifikasikan ke dalam suatu kelas atau kelompok berdasarkan struktur atau susunan sastra tersebut.
Pembagian karya sastra yang lain, dilakukan dengan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu. Pembagian ini pun banyak versinya, dan masing-masing pembagian dilakukan atas kriteria¬kriteria yang bervariasi pula.
Aristoteles menerapkan tiga kriteria atas sastra Yunani klasik. Namun, satu hal yang menari.k bahwa teori itu juga cocok untuk sastra lain- Penggolongan karya sastra atas tiga kriteria itu adalah sebagai berikut.
a. “media of representation” (sarana perwujudannya); 1.prosa; 2.puisi: a.karya hanya memanfaatkan satu matra (metrum) saja (misalnya epik,contoh Indonesia:syair)
b. karya memanfaatkan lebih dari satu matra (misalnya tragedi, kakawin); dalam pembagian ini pada prinsipnya tidak dibeda¬kan antara sastra dan bukan sastra!)
c. “objects of representation” (objek perwujudan)-. yang menjadi objek pads prinsipnya selalu manusia, tetapi ada tiger kemungkinan, l) manusia rekaan lebih agung dari manusia nyata:tra¬gedi,epik Homerus; cerita Panji; 2) manusia rekaan lebih hina dari manusia nyata: komedi;lenong; 3) manusia rekaan sama dengan manusia nyata:Cleophon (seandainya roman pads waktu itu sudah ada pastilah roman digolongkan Aristoteles dalam katagori ini!). Dalam pembagian ini pada prinsipnya tidak dibeda¬kan antara sastra dan bukan sastra!) misalnya sebuah monolog panjang atau sebuah teks didaktik.
Dalam teori-teori mengenai jenis-jenis sastra sejak da¬hulu memang dikaitkan situasi bahasa dengan tematik.Demikian pada abad ke-18 terjadi pembagian klasik antara lirik, epik, dan dramatik tiga jenis sastra itu dikaitkan dengan tema. Dalam lirik pengung¬kapan perasaan pribadi dipandang sebagai tema terpen¬ting. Dalam drama perbuatan yang memuncak dalam sebuah konflik dianggap pokok, sedangkan dalam epik perbuatan dahsyat seorang leluhur yang menentukan nasib bangsa keturunannya.
Pembagian di atas masih diperbincangkan. Namun, sampai pertengahan abad ke-20 ini masih juga diadakan usaha untuk memberlakukan jenis sastra secara tematik sebagai suatu patokan universal. Pembagian karya sastra berdasarkan gaya sepanjang sejarah sastra memang ada. Pembagian global sastra atas puisi dan prosa sebetulnya bersifat stilistik.Dalam pandangan ini puisi dianggap teratur menurut irama. Pengaruh anggapan ini terhadap sejarah sastra memang besar. Namun, dewasa ini ciri-ciri yang dianggap khas bagi puisi dan prosa tidak universal dan abadi.
Pembagian lain seperti, gaya tinggi yang dianggap cocok dengan seorang ningrat sedangankan gaya rendah cocok untuk seorang petani- Dalam teori klasik, gaya tinggi dihubungkan dengan pentas tragedi, sedangkan gaya rendah dengan komedi.
B.1. Jenis Sastra berdasarkan Pragmatik
Katagori akibat pragmatik adalah katagori berdasarkan tujuan dan akibat sebuah karya sastra. Ada teks-teks yang ingin mengajarkan sesuatu, yang meyakinkan, yang bersifat humor, mengharukan, dan yang memberi informa¬si. Pembagian serupa ini ada persoalan. Kita tak dapat memberikan kaidah-kaidah yang berlaku umum, tujuan dan akibat tidak selalu sama, alasannya : (i) akibat dan pengaruh terhadap pembaca berubah dari zaman kezaman, (ii) maksud pengarang dapat disalahartikan, dan (iii) fungsi-fungsi pragmatik tidak mudah dikaitkan dengan sekelompok teks tertentu. Pembagian jenis-jenis sastra menurut dampaknya harus memenuhi dua syarat, yaitu (i) harus dibedakan antara efek primer, atau efek dominan, dan efek camping dan (ii) pembagian harus terikat pads suatu periode sejarah tertentu.

B.2. Jenis Sastra Berdasarkan Bentuk Material atau Lahiriah
Katagori ini berdasarkan bentuk lahiriah teks yang diterbi.tkan. Sebuah cerita mengisi seluruh permukaan halaman, sedangkan dalam teks drama kita berjumpa dengan banyak bi.dang putih, khusus bila pembicaranya berganti, Hama pelaku dicetak sedemikian rupa. Dalam puisi pun halaman tidak diisi sepenuhnya, bait-bait terpisah oleh bidang putih dan kadang perwujudan lahir¬iah memperlihatkan variasi-variasi lain pula.
Kategori sastra yang lainnya, yakni berdasarkan tujuh kri¬teria.
Kriteria itu adalah : (i.) isi, (ii) media, (iii) aliran, (iv) nilai literer, (v) zaman, (vi) asal, dan (vii) ciri khan kebahasaan. Maksud masing-masing kriteria di atas dapat dijelas¬kan sebagai berikut.
Berdasarkan isi, yakni berdasarkan tema yang dibahas. Berda¬sarkan tema kita mengenal sastra sejarah, sastra sufisik, sastra didaktik, dan sebagainya. Media maksudnya same dengan kriteria sarana perwujudan yang dikemukakan oleh Aristoteles di atas. Pada prose kita mengenal cerpen, novel, dan novellet. Aliran kesusastraan yang dianut oleh pengarang akan melahirkan jenis-jenis sastra terrtentu. Berdasarkan aliran kesusas¬traan yang ada kita mengenal sastra ekspresionistis, sastra impresionistis, sastra simbolis, sastra didaktis, dan sebagainya.
Kriteria ni.lain literer, yakni pembagian sastra berdasarkan bobot kesastraan atau kadar literer yang dikandung oleh sebuah karya sastra. Berdasarkan kriteria ini, dapat disebut novel popular, novel picisan, dan novel yang berbobot sastra.
Berdasarkan zaman, berarti mengelompokkan karya sastra yang ada berdasarkan zaman karya sastra itu diciptakan.Dalam sastra Indonesia dikenal puisi lama, puisi baru, puisi modern, dan puisi kontemporer.
Berdasarkan asal, berarti memperhatikan pada tempat asal karya sastra tersebut, dalam hal ini merujuk kepada negara. Secara umum, dalam sastra Indonesia ada sastra asing dan ada sastra daerah. Selain itu juga dikenal sastra Arab, sastra sastra lisan untuk penggolongan ini adalah bahasa yang digunakan pengar¬ang atau stilistikanya. Sastra yang termasuk ke dalam kriteria ini seperti puisi mantra, puisi mbeling, dan s Inggris, dan sebagainya.
Terakhir kriteria ciri khas kebahasaan. Demikianlah pembicaraan tentang genre sastra dan katagorisa¬si sastra. Keberadaan kedua teori ini dalam kesusastraan sampai seat ini tetap dibutuhkan. Namun, dalam pemakaiannya masih diper¬lukan peninjauan lebih lanjut, terutama terhadap penyesuaiannya dengan tempat dan masa karya sastra yang akan dikelompokkan.

SISTEM SASTRA, KONVENSI BAHASA DAN KONVENSI SASTRA

SISTEM SASTRA, KONVENSI BAHASA DAN KONVENSI SASTRA
A. Pendahuluan
Menurut Pratt Sinter untuk berhasil membaca karya sastra , memahami, dan menafsirkannya orang harus siap mental dan tahu tentang konvensi yang dimiliki karya sastra. Konvensi adalah aturan sosial, sesuatu yang disetujui/disepakati masyarakat. Diantara konvensi-konvensi di bidang sastra yang harus diketahui adalah sistem sastra. Sistem sastra merupakan asas, prinsip, dan norma-norma sastra yang sudah tersusun secara teratur yang harus disepakati. Walaupun karya sastra merupakan satu bangunan atau struktur yang berisi berbagai macam ilmu pengetahuan, secara universal tidak mungkin lepas sepenuhnya dari sistem sastra yang ada. Pada sisi lain, sistem sastra sifatnya longgar. Hal ini disebabkan karya sastra merupakan karya individual.
Adapun sistem sastra yang patut diketahui agar dapat melakukan penafsiran dalam rangka memproduksi makna menurut Fananie ( 2000: 23 – 62 adalah: konvensi bahasa, konvensi sastra, dan aliran sastra. Selain tiga hal itu, Teeuw ( 1984:95-119) menambahkan konvensi budaya, jenis sastra /genre, dan teks sastra sebagai sistem sastra. Sejalan dengan Teeuw dan Fananie di atas, Pradopo ( 2002: 47-63) menambahkan kerangka kesejarahan: hubungan intertekstual sebagai salah satu sistem sastra yang perlu mendapat perhatian apabila akan menafsirkan karya sastra dengan kerangka semiotik., Keseluruhan sistem sastra itu sebagaimana diuraikan berikut ini.

B. Konvensi Bahasa
Karya sastra adalah karya seni yang mediumnya sudah bersifat tanda yang mem¬punyai arti, yaitu bahasa. Tanda kebahasaan itu adalah bunyi yang dipergunakan sebagai simbol, yaitu tanda yang hubungannya dengan artinya itu bersifat arbitrer atau semau¬maunya. Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi masyarakatnya. Para pemakai bahasa tunduk kepada sistem konvensi bahasa itu, seperti konvensi tata bahasa dan konvensi¬. Artinya, para sastrawan sebagai pemakai bahasa untuk karya sastranya tunduk kepada sistem konvensi bahasa yang dipergunakannya ( Teeuw, 1984:96). Jadi, bahasa da¬lam karya sastra sesuai dengan sistem konvensi bahasa yang dipergunakan. Hal ini disebabkan, seperti dikemukakan Teeuw (1984:96),
Bahasa sebagai sistem tanda me¬nyediakan perlengkapan konseptual bagi dasar pemahaman dunia nyata dan sekaligus merupakan dasar komunikasi antaranggota masyarakatnya. Oleh karena itu, pembaca karya sastra dalam memproduksi makna juga tunduk kepada sistem bahasa yang caper digunakan pertama kali,pembaca atau kritikus dalam memproduksi makna kata-kata, trase, atau kalimat dalam sastra itu harus memperhatikan sistem bahasa yang di¬pergunakan itu. Dengan demikian, ia akan mendapatkan ketepatan arti teks sastra tersebut.
Seringkali sastrawan mempergunakan bahasa yang tampaknya menyimpang dari penggunaan bahasa yang umum. Akan tetapi, sesungguhnya sastrawan dalam memper-gunakan bahasa itu masih dalam ruang lingkup konvensi bahasa yang dipergunakan. Bila tidak demikian, bahasanya tidak komunikatif, berarti makna karya sastranya tidak dapat diproduksi berdasarkan sistem konvensi bahasa yang dipergunakan. Dalam arti, ia tetap tidak menyimpang sama sekali dari sistem konvensi bahasa yang dipergunakan. Hal ini seperti dikemukakan Teeuw (1984:97) bahwa sistem kemaknaan sebuah bahasa cukup lincah, luwes, dan longgar sehingga memberikan segala kemungkinan kepada sastrawan untuk secara dan orisinal memanfaatkannya

C. Konvensi Sastra
Di samping tunduk kepada konvensi bahasanya, sastrawan juga terikat oleh konvensi sastra yang dipergunakan. Dengan adanya sistem konvensi sastra di samping konvensi bahasa, maka ada konvensi tambahan (Preminger, 1974:980, 981), yaitu konvensi tambahan kepada konvensi bahasa. Dengan demikian, konvensi bahasa ini ditingkatkan kepada konvensi yang lebih tinggi kedudukannya, yaitu konvensi sastra. Di sini arti (meaning) ditingkatkan kepada makna (significance). Pertentangan antara arti dan makna merupakan prinsip semiotik sastra yang terpenting (Riffaterre via Teeuw, 1984:99).
Dengan begitu, dalam memproduksi makna di samping harus memperhatikan system konvensi bahasa yang dipergunakan, pembaca juga harus memperhatikan sistem konvensi sastra.Jadi, arti bahasa (meaning) dalam karya sastra tidak semata-mata sama-dengan sistem bahasa, tetapi mendapat arti tambahan yang merupakan makna sastra (significance) berdasarkan tempat dan fungsinya dalam struk¬tur sastranya; maknanya ditentukan fungsinya dalam struktur.
Meskipun demikian, sastrawan pun belum tentu memenuhi konvensi-konvensi sastra itu seratus persen. Hal ini disebabkan oleh prinsip kreativitas sastra dan hakikat sastra itu sendiri, yaitu selalu dalam ketegangan antara konvensi dengan penemuan (invensi, inovasi) (Teeuw,1984:101,102); Karena itu, sastra selalu berada dalam ketegangan antara aturan dan kebebasan, mimesis dan tiruan dan ciptaan, antara Horatius (dengan art poeticanya yang normatif) dan Longinus (dengan pengagungan daya kreatif), antara technique dan talent, limit dan license, antara convention dan invention. (Levin, 1950: 65). Karya sastra itu di satu pihak terikat kepada konvensi, tetapi di lain pihak, juga ada kelonggaran dan kebebasan dalam mempermainkan konvensi tersebut. Penyimpangan itu biasa disebut defamiliarisasi atau deotomasisasi (Teuuw dalam Pradopo 2002:48).
Penyimpangan konvensi tersebut memang sangat dirasakan apabila pembaca mempunyai latar belakang pada konvensi yang sudah ada. Karenanya penyimpangan konvensi seperti dikatakan Teeuw, baru dan hanya mungkin efektif atas dasar adanya kon vensi yang disimpangi (Teuuw,1984:102). Dengan kata lain, penyimpangan tersebut akan memberikan satu makna apabila mampu memberikan sesuatu berdasarkan tatanan yang ditimbulkan. Walaupun pengarang sastra modern banyak melakukan penyimpangan dari konvensi yang telah ada, kenyataannya mereka tidak dapat melepaskan diri secara total akan konvensi sastra. Adapun bentuk dan perwujudan karya sastra mereka, konvensi sastra selalu tercermin di dalamnya.
Secara general konvensi sastra dapat dilihat melalui penanda-penanda yang terdapat pada karya sastra. Menurut Fananie (2000:44-46) ada sembilan penanda konvensi sastra itu. Singkatnya adalah sebagai berikut:
1) Bahasa yang dipakai selalu bersifat estetis, puitis, menyentuh rasa dengan pendar keindahannya.
2) Karya sastra bersifat imajinatif/ fiktif, yaitu suatu cerita rekaan yang berangkat dari daya khayal kreatif.
3) Bahasa sastra bersifat konotatif dan multiinterpretable.
4) Bahasa sastra bersifat simbolis, asosiatif, sugestif, dan konotatif.
5) Bahasa sastra bersifat sublime dan etis.
6) Karya sastra tertentu merupakan suatu katarsis, yaitu suatu upaya bersih diri dari lengketan debu-debu dan lepotan lumpur dan kehidupan dunia.
7) Tokoh-tokoh dalam novel, roman, repertoar, scenario, balada, dilukiskan dalam karakter, pribadi, dan pencandraan diri yang kuat dan meyakinkan.
8) Setting, dilukiskan dengan cermat dan hidup, sedang plotnya begitu memikat.
9) Puisi-puisi konvensional ditata dalam larik-larik dan bait-bait yang didalamnya terdapat aliterasi, asonansi, irama, persajakan, enjambemen, korespondensi, dan nuansa puitik
Konvensi-konvensi sastra yang bersifat general tersebut secara rinci dapat digolongkan menjadin tiga kategori yang masing-masing katagori mempunyai spesifikasi tersendiri. Kategori tersebut meliputi:

A. Puisi
Konvensi dan spesifikasi yang terdapat dalam puisi dapat meliputi:
a. Struktur fisik, yang terdiri dari:
1) Diksi
2) Pengimajian
3) Kata konkrit
4) Bahasa figurative
5) Versifikasi ( rima, ritme, metrum)
6) Tipografi

b. Struktur batin, yang meliputi:
1) Tema
2) Perasaan (felling)
3) Nada dan suasana
4) Amanat


B.Prosa
Berbeda dengan puisi, unsur konvensi dalam prosa dapat meliputi:
1) Tema dan subtema
2) Amanat
3) Penokohan
4) Plot
5) Pusat pengisahan
6) Gaya bahasa

C.Drama
1) Konflik manusia sebagai dasar dari lakon
2) Naskah drama dan strukturnya:
i) Plot atau kerangka cerita
ii) Penokohan dan perwatakan
iii) Dialog ( Percakapan)
iv) Setting/ Landasan / tempat kejadian
v) Tema / Nada dasar cerita
vi) Amanat / pesan pengarang
vii) Petunjuk teknis
viii) Drama sebagai interpretasi kehidupan
( Waluyo, 2006:4-32)

Senin, 05 September 2011

PUISI, PROSA dan DRAMA serta JENIS-JENISNYA

Pengertian Puisi
Karya sastra terdiri atas 2 jenis, yaitu prosa dan puisi. Biasanya prosa disebut karangan bebas, sedangkan puisi disebut karangan terikat. Akan tetapi, pada waktu sekarang, para penyair berusaha melepaskan diri dari aturan yang ketat itu hingga terciptalah sajak bebas.
Dalam sastra Indonesia ada 2 istilah puisi dan sajak. Puisi dalam bahasa Inggris poetry dan sajak dalam bahasa Inggris poem. Puisi adalah jenis sastra, sedangkan sajak adalah individu puisi. Oleh karena itu, kedua istilah itu jangan dicampuradukkan pemakaiannya.
Korespondensi dan periodisitas merupakan bentuk formal sebuah puisi. Bahkan puisi Pujangga Baru masih ada yang terikat pada korespondensi dan periodisitas.
Puisi baru (modern) menyimpangi pengertian puisi menurut pandangan lama. Puisi baru tidak terikat oleh bentuk-bentuk formal, korespondensi, dan periodisitas itu. Oleh karena itu, puisi baru (modern) disebut puisi bebas atau sajak bebas.
Bentuk-bentuk formal puisi lama sesungguhnya merupakan sarana-sarana kepuitisan untuk membuat puisi menjadi indah. Bentuk-bentuk formal itu masih juga dipergunakan oleh puisi modern, tetapi bukan merupakan ikatan, bukan merupakan pola yang tetap.
Puisi baru sesungguhnya terikat juga, tetapi terikat oleh hakikatnya sendiri, bukan terikat oleh pola-pola bentuk formal. Pola-pola bentuk formal bukan merupakan hakikat puisi.
Jenis–jenis Puisi Indonesia Lama
Puisi lama ada bermacam-macam jenis. Akan tetapi, yang paling dominan adalah pantun dan syair.
Aturan-aturan puisi lama sangat ketat. Aturan mengenai jumlah baris dalam setiap bait, jumlah kata dalam tiap baris, jumlah kata dalam setiap larik, terutama pola sajak akhir harus ditaati benar-benar. Pantun adalah puisi lama yang terdiri atas empat baris dalam satu bait, dua baris pertama merupakan sampiran dan dua baris berikutnya merupakan isi.
Syair merupakan sajak epis yang bercerita maka terdiri dari rangkaian bait yang membentuk cerita. Syair terdiri atas empat baris dalam satu bait dan bersajak akhir a-a-a-a.
Muatan puisi lama sesuai dengan jiwa masyarakat lama. Di antaranya berupa keyakinan, nasihat, teka-teki, kejenakaan, adat, dan hikayat.

Kegiatan Belajar 2
Jenis–jenis Puisi Indonesia Baru
Puisi baru atau puisi modern ada bermacam-macam jenis. Tiap periode atau angkatan mempunyai jenisnya sendiri. Puisi Angkatan Pujangga Baru berupa puisi baru yang bermacam-macam bentuknya. Puisi baru merupakan usaha kreativitas para penyairnya untuk menciptakan bentuk-bentuk baru yang dinamis untuk menyimpangi bentuk dan sifat puisi lama. Penyair Pujangga Baru masih ada yang menulis pantun juga, tetapi dengan perubahan bentuk. Di samping itu, Pujangga Baru menggemari sonata yang berasal dari Barat.
Puisi Angkatan 45 merupakan respons terhadap puisi Angkatan Pujangga Baru. Terutama berupa penyimpangan terhadap aturan-aturan perpuisian yang masih sangat terikat pola-pola tertentu. Oleh karena sajak Angkatan 45 membebaskan diri dari pola-pola dan aturan-aturan tertentu maka puisinya disebut puisi bebas.
1970Puisi periode 1955 masih meneruskan juga puisi liris Angkatan 45, tetapi pada periode itu muncul puisi balada. Balada ini digemari oleh para penyair muda pada waktu itu. Puisi balada ini berasal dari Barat (Inggris). Penyair yang pertama kali mempergunakan balada adalah W.S. Rendra.
Pada periode 1990 timbul puisi (bergaya) mantera yang dipelopori oleh Sutardji1970 Calzoum Bachri. Puisi mantera ini untuk menguasai dunia gaib, untuk konsentrasi, dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Akan tetapi, ada juga untuk menuliskan bahan dan masalah-masalah lain.


DAFTAR PUSTAKA
Alisyahbana, S. Takdir. (1996). Puisi lama. Jakarta: Dian Rakyat.

Andangdjaya, Hartoyo. (1973). Buku Puisi. Jakarta: Pustaka Jaya.

Anwar, Chairil. (1959). Deru Campur Debu. Jakarta: Yayasan Pembangunan.

Efendi, Rustam. (1953). Percikan Permenungan. Jakarta: FASCO.

Hamzah, Amir. (1959). Buah Rindu. Jakarta: Pustaka Rakyat

Herfanda, Ahmadun Yusi. (1996). Sembahyang Rumputan. Yogyakarta: Bentang.

Maulana, Sofi Farid. (1984). Bunga Kecubung. Tasik Malaya: Gotong Royong Sastra.

Liaw Yoek Fang. (1978). Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Singapura: Pustaka Nasional.

Pane, Sanusi. (1957). Madah Kelana. Jakarta: Balai Pustaka.

Rendra, W.S. (1972). Sajak-sajak Sepatu Tua. Jakarta: Pustaka Jaya.

Soejarwo. (1993). Bunga-bunga Puisi dan Taman Sastra Kita. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Puisi Anak-anak, Remaja, dan Dewasa
Puisi atau karya sastra pada umumnya berisikan ide-ide yang datang dari pemikiran-pemikiran tentang kehidupan dengan tujuan mengingatkan, menyadarkan setiap orang (penyair dan pembaca) akan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan itu sendiri. Intinya karya sastra mengandung norma-norma kehidupan yang seharusnya dijalani oleh setiap orang.
Ditinjau dari kelompok usia, puisi atau karya sastra dapat dikelompokkan menjadi puisi anak-anak, puisi remaja, dan puisi dewasa. Pengelompokan ini didasari atas adanya perbedaan dalam isi dan gaya ekspresinya.
Puisi anak-anak pada umumnya memiliki ciri (1) masalah sesuai dengan dunia dan pola pikir anak-anak, seperti sekolah, pemujaan terhadap guru dan orang tua, (2) ekspresi cenderung langsung, (3) bahasa denotatif, (4) singkat, (5) unsur kepuitisan dicapai lewat ulangan kata dan bunyi. Dengan demikian apabila Anda akan menulis puisi anak atau mengajarkan penulisan puisi anak kepada anak-anak maupun siswa, Anda harus memperhatikan karakteristik tersebut.
Puisi remaja memiliki ciri, antara lain (1) tema-tema yang diolah beragam, mulai dari masalah cinta, pergaulan dalam dunia remaja, kepedulian terhadap lingkungan dan keadaan sekitarnya, sampai renungan kehidupan dan kematian, (2) ekspresi cenderung bersifat langsung, (3) penggunaan bahasa kiasan dalam taraf sederhana, (4) makna puisi mudah dipahami, (5) dibandingkan puisi anak-anak yang singkat, puisi remaja lebih panjang.
Penyebutan puisi dewasa sebenarnya tidak lazim karena biasanya puisi yang ditulis oleh orang (penyair) dewasa hanya disebut puisi begitu saja. Penyebutan tersebut tidak hanya dalam konteks pengajaran puisi di sekolah dan dalam rangka membedakannya dengan puisi anak-anak dan remaja.
RAGAM DAN JENIS PUISI
by pujangga | category: Article | 23/07/2009 | 00:35:37 AM | 16764 Views



Ada bermacam-macam jenis puisi yang ditulis para penyair Indonesia. Karya sastra tidak bersifat otonom. Dalam memahami makna karya sastra, kita mengacu pada beberapa hal yang erat hubungannya dengan puisi tersebut. Dalam pemahaman puisi, hal yang dipandang erat hubungannya adalah jenis puisi itu sendiri dan sudut pandang penyair. Sebenarnya ada banyak sekali macam-macam puisi, dan bagaimana penyair dalam menyampaikan inspirasinya, serta bagaimana menafsirkan makna puisi dengan mudah. Sehingga mudah mengklasifikasikan, termasuk jenis puisi apakah yang kita ciptakan.

W.H Hudson menyatakan adanya puisi sebyektif dan puisi obyektif (1959:96). Cleanth Brooks menyebut adanya puisi naratif dan puisi deskriptif (1979:335-356). David Daiches menyebut adanya puisi fisik, platonic, dan metafisik (1948:145). X.J. Kennedy menyebut adanya puisi konkret dan balada (1071:116-226). Dalam kumpulan puisi Rendra, kita mengenal judul-judul: balada, romansa, stanza, serenada, dan sebagainya. Ada juga parable atau alegori. Sedangkan istilah ode, himne, puisi kamar, dan puisi auditorium juga sering kita jumpai.

1. Puisi Naratif, Lirik, dan Deskriptif
Klasifikasi puisi ini berdasarkan cara penyair mengungkapkan isi atau gagasan yang hendak disampaikan.

a. Puisi Narataif
Puisi naratif mengungkapkan cerita atau penjelasan penyair. Ada puisi naratif yang sederhana, ada yang sugestif, dan ada yang kompleks. Puisi-puisi naratif, misalnya: epik, romansa, balada, dan syair.

Balada adalah puisi yang bercerita tentang orang-orang perkasa, tokoh pujaan, atau orang-orang yang menjadi pusat perhatian. Rendra banyak sekali menulis balada tentang orang-orang tersisih, yang oleh penyairnya disebut "Orang-orang Tercinta". Kumpulan baladanya yaitu, Balada Orang-orang Tercinta dan Blues Untuk Bonnie.


Romansa adalah jenis puisi cerita yang menggunakan bahasa romantic berisi kisah percintaan yang berhubungan dengan ksatria, dengan diselingi perkelahian dan petualangan yang menambah percintaan mereka lebih mempesonakan. Rendra juga banyak menulis romansa. Salah satu bagian dalam "Empat Kumpulan Sajak"nya berjudul "Romansa" dan berisi jenis puisi romansa, yakni kisah percintaan sebelum Rendra menikah. Kirdjomuljo menulis romansa yang berisi kisah petualangan dengan judul “Romance Perjalanan". Kisah cinta ini dapat huga berarti cinta tanah kelahiran seperti puisi-puisi Ramadhan K.H. Priangan “Si Jelita”. Priode 1953-1961 banyak ditulis jenis romansa ini.

b. Puisi Lirik
Dalam puisi lirik penyair mengungkapkan aku lirik atau gagasan pribadinya. Ia tidak bercerita. Jenis puisi lirik misalnya: elegi, ode, dan serenada.

Elegi adalah Puisi yang mengungkapkan perasaan duka. Misalnya "Elegi Jakarta" karya Asrul Sani yang mengungkapkan perasaan duka penyair di kota Jakarta.

Serenada adalah Sajak percintaan yang bisa dinyanyikan. Kata serenada berarti nyanyian yang tepat dinyanyikan pada waktu senja. Rendra banyak menciptakan serenada dalam 'Empat Kumpulan Sajak'. Misalnya Serenada hitam, Serenada Biru, serenade Merah Jambu, serenade ungu, Serenada Kelabu, dan sebagainya. Warna-warna dibelakang serenada itu melambangkan sifat nyanyian cinta itu, ada yang bahagia, sedih, kecewa, dan seterusnya.

Ode adalah Puisi yang berisi pujaan terhadap seseorang, sesuatu hal, sesuatu keadaan. Yang banyak ditulis adalah pemujaan terhadap tokoh-tokoh yang dikagumi. “Teratai” Sanusi Pane, “Diponegoro” Chairil Anwar, dan “Ode Buat Proklamator” Leon Agusta merupakan contoh ode yang bagus.

Berikut ini kutipan Ode Buat Proklamator, sebuah ode yang memuja tokoh proklamator Bung Karno dan Bung Hatta.

ODE BUAT PROKLAMATOR
Bertahun setelah kepergiannya kurindukan dai kembali
Dengan gelombang semangat halilintar dilahirkan sebuah negri; dalam Lumpur dan lumut
Dengan api menyapu kelam menjadi untaian permata hijau dibentangan cahaya abadi
Yang sesantiasa membuatnya tak pernah berhenti bermimpi menguak kabut gulita mendung, menerjang benteng demi benteng membalikkan arah to[pan, menjelmakan impian demi impian
Dengan seorang sahabatnya, mereka tanda tangani naskah itu
Mereka memancang tiang bendera, merobah nama dan peta, berjaga membacakan sejarah, menggenti bahasa pada buku
Lalu dia meniup terompet dengan selaksa nada kebangkitan sukma.

Kini kita ikut membubuhkan nama diatas bengkalainya; meruntuhkan sambil mencari, daftar mimpi membelit bulan perang saudara mengundang musnah, dendam tidur di hutan-hutan, di sawah terbuka yang sakti
Kata berpasirdibibir pantai hitam dan oh, lidahku yang terjepit, buih lenyap dilaut biru derap suara yang gempita Cuma bertahan atau menerkam
Ya, walau tak mudah, kurindukan semangatnya menyanyi kembali bersama gemuruh cinta yang membangun sejuta rajawali
Tak mengelak dalam bercumbu, biar berbisa perih dirabu
Berlapis cemas menggunung sesal mutiara matanya yang pudar
Bagi negriku, bermimpi dibawah bayangan burung garuda
(Hukla 1979)

Dalam puisi ini, dapat diungkapkan rasa kagum penyair kepada sang proklamator. Ungkapan-ungkapan rasa kagum ini sangat mengena dan tidak bersifat klise. Kerinduan penyair untuk mendengarkan bara semangat yang ditiupkan lewat pidato-pidato yang berapi-api, dapat kita hayati sejak enam baris terakhir.

c. Puisi Deskriptif
Didepan telah dinyatakan bahwa dalam puisi deskriptif, penyair bertindak sebagai pemberi kesan terhadap keadaan / peristiwa, benda, atau suasana dipandang menarik perhatian penyair. Jenis puisi yang dapat diklasifikasikan dalam puisi deskriptif, misalnya puisi satire, kritik sosial, dan puisi-puisi impresionitik.

Satire adalah Puisi yang mengungkapkan perasaan tidak puas penyair terhadap suatu keadaan, namun dengan cara menyindir atau menyatakan keadaan sebaliknya.

Kritik Sosial adalah Puisi yang juga menyatakan ketidak senangan terhadap keadaan tau terhadap diri seseorang, namun dengan cara membeberkan kepincangan atau ketidak beresan keadaan / orang tersebut.

Impresionistik adalah Puisi yang mengungkapkan kesan (impresi) penyair terhadap suatu hal.

2. Puisi Kamar dan Puisi Auditorium
Istilah puisi kamar dan puisi auditorium juga kita jumpai dalam buku kumpulan puisi ‘Hukla’ karya Leon Agusta. Puisi-puisi auditorium disebut juga puisi Hukla (puisi yang mementingkan suara atau serangakaian suara).
Puisi Kamar ialah Puisi yang cocok dibaca sendirian atau dengan satu atau dua pendengar saja di dalam kamar.

Puisi Auditorium adalah Puisi yang cocok dibaca di auditorium, di mimbar yang jumlah pendengarnya dapat ratusan orang.

Sajak-sajak Leon Agusta banyak yang dimaksudkan untuk sajak auditorium. Puisi-puisi Rendra kebanyakan adalah puisi auditorium yang baru memperlihatkan keindahannya setelah suaranya terdengar lewat pembacaan yang keras. Puisi auditorium disebut juga puisi oral karena cocok untuk dioralkan.

3. Puisi Fisikal, Platonik, dan Metafisikal
Pembagian puisi oleh David Daiches ini berdasarkan sifat dari isi yang dikemukakan dalam puisi itu.

Puisi Fisikal adalah Puisi bersifat realistis, artinya menggambarkan kenyataan apa adanya. Yang dilukiskan adalah kenyataan dan bukan gagasan. Hal-hal yang didengar, dilihat, atau dirasakan merupakan obyek ciptaannya. Puisi-puisi naratif, balada, impresionistis, juga puisi dramatis biasanya merupakan puisi fisikal.

Puisi Platonik adalah Puisi yang sepenuhnya berisi hal-hal yang bersifat spiritual atau kejiwaan. Dapat dibandingkan dengan istilah 'Cinta Platonis' yang berarti cinta tanpa nafsu jasmaniah. Puisi-puisi ide atau cita-cita, religius, ungkapan cinta luhur seorang kekasih atau orang tua kepada anaknya dapat dimasukkan ke dalam klasifikasi puisi platonik.

Puisi Metafisikal adalah Puisi yang bersifat filosofis dan mengajak pembaca merenungkan kehidupan dan merenungkan Tuhan. Puisi religius disatu pihak dapat dinyatakan puisi platonic (menggambarkan ide atau gagasan penyair), dilain pihak dapat disebut sebagai puisi metafisik (menagjak pembaca merenungkan hidup, kehidupan, dan Tuhan), karya-karya mistik Hamzah Fansuri seperti Syair Dagang, Syair Perahu, dan Syair Si Burung Pingai dapat dipandang sebagai puisi metafisikal. Kasidah-kasidah “Al-Barzanji” karya Ja'far Al-Barzanji dan tasawuf karya Jalaludin Rumi dapat diklasifikasikan sebagai puisi metafisikal.

4. Puisi Subyektif dan Puisi Obyektif
Puisi Subyektif disebut juga Puisi Personal, yakni puisi yang mengungkapkan gagasan, pikiran, perasaan, dan suasana dalam diri penyair sendiri. Puisi-puisi yang ditulis kaum ekspresionis dapat diklasifikasikan sebagai puisi subyektif, karena mengungkapkan keadaan jiwa penyair sendiri. Demikian pula puisi lirik dimana aku lirik bicara kepada pembaca.

Puisi Obyektif berarti Puisi yang mengungkapkan hal-hal diluar diri penyair itu sendiri. Puisi obyektif disebut juga puisi impersonal. Puisi naratif dan deskriptif kebanyakan adalah puisi obyektif, meskipun juga ada beberapa yang subyektif.

5. Puisi Konkret
Puisi konkret sangat terkenal dalam dunia perpuisian Indonesia sejak tahun 1770-an. X.J.Kennedy memberikan nama jenis puisi tertentu dengan nama puisi konkret, yakni puisi yang bersifat visual, yang dapat dihayati keindahan bentuk dari sudut pandang (poem for the eye). Kita mengenal adanya bentuk grafis dari puisi, kaligrafi, ideogramatik, atau puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri yang menunjukkan pengimajian lewat bentuk grafis. Dalam puisi konkret ini, tanda baca dan huruf-huruf sangat potensial membentuk gambar. Gambar wujud fisik yang 'kasat mata' lebih dipentingkan dari pada makna yang ingin disampaikan. Contoh dalam bahasa Inggris, misalnya karya Joice Klimer berikut ini :
t
ttt
rrrrrrr
eeeeeeeee
???

Kata yang hendak dinyatakan dalam puisi ini hanyalah 'tree', namun karena membentuk gambar pohon natal, maka pembaca mengetahui bahwa yang dimaksud penyair adalah pohon natal. Karya Sutardji banyak sekali yang dapat diklasifikasikan sebagai puisi konkret. Kemudian diikuti oleh penyair-penyair yang lebih muda. Puisi konkret ada yang berbentuk segi tiga, kerucut, belah ketupat, piala, tiang lingga, oval, spindle, ideografik, dan ada juga yang menunjukkan lambang tertentu.

6. Puisi Diafan, Gelap, dan Prismatis
Puisi Diafan atau puisi polos adalah puisi yang kurang sekali menggunakan pengimajian, kata konkret dan bahasa figurative, sehingga puisinya mirip dengan bahasa sehari-hari. Puisi yang demikian akan sangat muda dihayati maknanya. Puisi-puisi anak-anak atau puisi karya mereka yang baru belajar menulis puisi dapat diklasifikasikan puisi diafan. Mereka belum mampu mengharmoniskan bentuk fisik untuk mengungkapkan makna. Dengan demikian penyair tersebut tidak memiliki kepekaan yang tepat dalam takarannya untuk lambang, kiasan, majas, dan sebagainya. Jika puisi terlalu banyak majas, maka puisi itu menjadi gelap dan sukar ditafsirkan. Sebaliknya jika puisi itu kering akan majas dan versifikasi, maka itu akan menjadi puisi yang bersifat prosaic dan terlalu cerlang sehingga diklasifikasikan sebagai puisi diafan.

Dalam puisi prismatis penyair mampu menyelaraskan kemampuan menciptakan majas, versifikasi, diksi, dan pengimajian sedemikian rupa sehingga pembaca tidak terlalu mudah menafsirkan makna puisinya, namun tidak terlalu gelap. Pembaca tetap dapat menelusuri makna puisi itu. Namun makna itu bagaikan sinar yang keluar dari prisma. Ada bermacam-macam makna yang muncul karena memang bahasa puisi bersifat multi interpretable. Puisi prismatis kaya akan makna, namun tidak gelap. Makna yang aneka ragam itu dapat ditelusuri pembaca. Jika pembaca mempunyai latar belakang pengetahuan tentang penyair dan kenyataan sejarah, maka pembaca akan lebih cepat dan tepat menafsirkan makna puisi tersebut.
Penyair-penyair seperti Amir Hamzah dan Chairil Anwar dapat menciptakan puisi-puisi prismatis. Namun belum tentu semua puisi yang dihasilkan bersifat prismatis. Hanya dalam suasana mood seorang penyair besar mampu menciptakan puisi prismatis. Jika puisi itu diciptakan tanpa kekuatan pengucapan, maka niscaya tidak akan dapat dihasilkan puisi prismatis. Puisi-puisi dari orang yang baru belajar menjadi penyair biasanya adalah puisi diafan. Namun kadang-kadang juga kita jumpai puisi gelap.

7. Puisi Pernasian, dan Puisi Inspiratif
Pernasian adalah sekelompok penyair Prancis pada pertengahan akhir abad 19 yang menunjukkan sifat puisi-puisi yang mengandung nilai keilmuan. Puisi pernasian diciptakan dengan pertimbangan ilmu atau pengetahuan dan bukan didasari oleh inspirasi karena adanya mood dalam jiwa penyair. Puisi-puisi yang ditulis oleh ilmuwan yang kebetulan mampu menulis puisi, kebanyakan adalah puisi pernasian. Puisi-puisi Rendra dalam “Potret Pembangunan” dalam puisi yang banyak berlatar belakang teori ekonomi dan sosiologi dapat diklasifikasikan sebagai puisi pernasian. Demikian juga puisi-puisi Dr. Ir. Jujun S. Suriasumantri yang sarat dengan pertimbangan keilmuan.

Puisi Inspiratif diciptakan berdasarkan mood atau passion. Penyair benar-benar masuk ke dalam suasana yang hendak dilukiskan. Suasana batin penyair benar-benar terlibat kedalam puisi itu. Dengan mood, puisi yang diciptakan akan memiliki tenaga gaib, sekali baca habis. Pembaca memerlukan waktu cukup untuk menafsirkan . puisi prosaic seperti karya penyair-penyair tahun 1970-an dibawah ini, termasuk puisi yang menggunakan bahasa pernassioan.

Karena Jajang
Tuhan
Saya minta duit
Buat beli sugus
Karena Jajang
Lagi doyan sugus

8. Stansa
Jenis puisi yang bernama stanza kita jumpai dalam Empat Kumpulan Sajak karya Rendra. Stanza artinya puisi yang tediri atas 8 baris. Stanza berbeda dengan oktaf karena oktaf dapat terdiri atas 16 atau 24 baris. Aturan pembarisan dalam oktaf adalah 8 baris untuk tiap bait, sedangkan dalam setanza seluruh puisi itu hanya terdiri atas 8 baris. Berikut ini dikutip contoh stanza yang ditulis sekitar tahun 1969.

Malam kelabu
Ada angina mnerpa jendela
Ada langit berwarna kelabu
Hujan titik satu-Saturday menatap cakrawala malam jauh
Masih adakah kuncup-kuncup mekar
Atau semua telah layu
Kelu dalam seribu janji
Kelam dalam penantian.
(Herwa, 1969)

9. Puisi Demonstrasi dan Pamflet
Puisi demonstrasi menyaran pada puisi-puisi Taufiq Ismail dan mereka yang oleh Jassin disebut angkatan 66. puisi ini melukiskan dan merupakan hasil refleksi demonstrasi para maha siswa dan pelajar sekitar tahun 1966. Menurut subagio Sastrowardoyo, puisi-puisi demonstrasi 1966 bersifat ke-kita-an, artinya melukiskan perasaan kelompok, bukan perasaan individu. Puisi-puisi mereka adalah endapan dari pengalaman fisik, mental, dan emosional selama penyair terlibat dalam demonstrasi 1966. gaya paradoks dan ironi banyak kita jumpai. Sementara itu, kata-kata yang membakar semangat kelompok banyak dipergunakan, seperti kebenaran, kamanusiaan, tirani, kebatilan, dan sebagainya. Di bawah ini dikemukakan salah satu contoh.

Mimbar
Dari mimbar ini telah dibicarakan
Pikiran-pikiran dunia
Suara-suara kebebasan
Tanpa ketakutan

Dari mimbar ini diputar lagi
Sejarah kemanusiaan
Pengembangan teknologi
Tanpa ketakutan

Di kampus ini
Telah dipahatkan
Kemerdekaan

Segala despot dan tirani
Tidak bisa dirobohkan
Mimbar kami
(Taufiq Ismail, 1966)

Seperti halnya puisi pamflet, puisi-puisi demonstrasi merupakan ungkapan sepihak, sehingga kebenaran sulit ditrima secara obyektif. Pihak yang dibela diberikan tempat dan kedudukan yang terhormat dan serba benar, sedang pihak yang dikritik dilukiskan berada dalam posisi yang kurang simpatik.

Puisi pamflet juga mengungkapkan protes social. Disebut puisi pamflet karena bahasanya adalah bahasa pamflet. Kata-katanya mengungkapkan rasa tidak puaas kepada keadaan. Munculnya kata-kata yang berisi protes secara spontan tanpa proses pemikiran atau perenungan yang mendalam. Istilah-istilah gagah membela kelompoknya disertai dengan istilah tidak simpatik yang memojokkan pihak yang dikritik. Seperti halnya puisi demonstrasi, bahasa pusi pamflet juga bersifat prosaic.

Rendra adalah tokoh puisi pamflet. Didepan telah diberikan salah satu contoh puisi pamflet Rendra yang berjudul "Sajak Burung Kondor". Kata-kata cukong, dan kondom dinyatakan bersam dengan kata-kata penderitaan, kelaparan, dan kesengsaraan rakyat kecil yang dibela. Dalam pusi-puisi pamflet banyak kita jumpai kata-kata tabu yang diungkapkan penyair untuk menunjukkan kedongkolan hati penyair kepada pihak yang dikritik atau terhadap keadaan yang tidak memuaskan dirinya.
Puisi pamflet Rendra kehilangan makna konotatif, suatu kehebatan Rendra dalam menciptakan puisi pada tahun 50-an. Kata-kata kasar, ungkapan-ungkapan langsung ke sasaran, dan hiperbola yang bertujuan memojokkan pihak yang dikritik banyak kita jumpai dalam puisi-puisi pamflet Rendra. Puisi-puisi pamflet Rendra ini mengingatkan kita akan puisi-puisi Jerman pada awal industrialisasi di sana. Puisi-puisi pamflet Rendra kebetulan merupakan reaksi terhadap industrialisasi yang berkembang pesat sekitar tahun 1974 (seperti halnya puisi pamflet Jerman). Berikut ini dikutip salah satu puisi pamflet Rendra

Menghirup sebatang lisong,
Melihat Indonesia Raya,
Mendengar 130 juta rakyat,
Dan di langit
Dua tiga cukong mengangkang,
Berak diatas mereka
………………………………….
Delapan juta kanak-kanak
Menghadapi satu jalan panjang,
Tanpa pilihan,
Tanpa pohonan
Tanpa dangau persinggahan,
Tanpa ada bayangan ujungnya
…………………………………..
Menghisap udara
Yang disemprot deodorant,
Aku melihat sarjana-sarjana menganggur
Berpeluh di jalan raya;
Aku melihat wanita bunting
Antri uang pensiun
Dan di langit:
Para teknokrat berkata :
Bahwa bangsa kita adalah malas
Bahwa bangsa mesti dibangun
Mesti di up-grade,
Disesuaikan dengan teknologi yang diimport.
……………………………………………………
Bunga-bunga bangsa tahun depan
Berkunang-kunang pandang matanya,
Di bawah iklan berlampu neon.
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
Menjadai gembalau suara kacau,
Menjadi karang di bawah muka samudra.
Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode
Tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
Keluar ke desa-desa,
Mencatat sendiri semua gejala,
Dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku
Pamflet masa darurat,
Apakah arti kesenian,
Bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
Bila terpisah dari masalah kehidupan.

10. Alegori
Puisi sering-sering mengungkapakan cerita yang isinya dimaksudkan untuk memberikan nasihat tentang budi pekerti dan agama. Jenis alegori yang terkenal adalah parable yang juga disebut dongeng perumpamaan. Dalam kitab suci banyak kita jumpai dongeng-dongeng perumpamaan yang maknanya dapat kita cari dibalik yang tersurat. Puisi "Teratai" karya Sanusi Pane boleh dikatakn sebagai puisi alegori, karena kisah bunga teratai itu digunakan untuk mengisahkan tokoh pendidikan. Kisah tokoh pendidikan yang dilukiskan sebagai teratai itu digunakan untuk memberi nasihat kepada generasi muda agar mencontoh teladan 'teratai' itu. Cerita berbingkai seperti Panca Tantra, 1001 Malam, Bayan Budiman dan Hikayat Bachtiar juga dapat diklasifikasikan sebagai parable.
Contoh Prosa Lama dan Prosa Baru - Kita dapat membedakan dengan cepat antara puisi dan prosa rekaan dan struktur fisiknya. Yang dapat dilihat secara sepintas dan struktur fisik prosa rekaan adalah pengaturan kata-katanya.
Dalam bentuk tertulis, kata-kata yang terdapat dalam prosa rekaan memenuhi seluruh halaman dan tepi kiri sampai kanan. Kumpulan kata dibentuk menjadi kalimat. Hal ini berbeda
dengan puisi. Di dalam puisi, kumpulan kata akan membentuk baris. Kalimat dalam prosa rekaan dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri tanda titik (.) atau tanda akhir berupa tanda tanya atau tanda seta (? atau !). Kalimat-kalimatnya membentuk paragraf, bukan bait. Kebanyakan paragraf ditulis menjorok ke dalam lima sampai tujuh ketukan, demikian juga dialog antartokohnya.

Dalam bentuk lisan, prosa rekaan lebih banyak berupa cerita. Bentuk ini mempunyai tokoh, jalan cerita, latar cerita, terra, nilai-nilai yang disampaikan yang cukup jelas. Prosa rekaan bisa dibedakan atas prosa lama dan prosa baru (modern).

Prosa Lama
Prosa lama mempunyai bentuk-bentuk sebagai berikut:
1) Hikayat, bentuk sastra lama yang berisi cerita kehidupan para dewa, peri, pangeran atau putri kerajaan, serta raja-raja yang mempunyai kehidupan luar biasa dan gaib.
2) Sejarah atau tiambo, salah satu bentuk prosa lama yang isi ceritanya diambil dari suatu peristiwa sejarah yang pernah terjadi.
3) Dongeng. bentuk sastra lama yang bercerita tentang sesuatu kejadian yang luar biasa dan penuh khavalan, tentang dewa-dewa, peri-peri, putri-putri cantik, dan sebagainya. Fungsi dongeng haruslah sebagai penghibur. Oleh karena itu, dongeng disebut juga cerita pelipur lara.

Prosa Baru (Modern)
Prosa baru merupakan pancaran dari masyarakat baru. Karya-karya prosa yang dihasilkan oleh masyarakat baru Indonesia mulai fleksibel dan bersifat universal; ditulis dan dilukiskan secara lincah serta bisa dinikmati oleh lingkup masyarakat yang lebih luas.

Bentuk-bentuk prosa baru, antara lain sebagai berikut:
1) Roman berisi cerita tentang kehidupan manusia yang dilukiskan seeara terperinci atau detail. Berdasarkan isinya, roman dapat dibagi menjadi roman sejarah, roman sosial, roman jiwa, roman tendens.
2) Cerpen singkatan dari Cerita pendek; adalah karangan pendek yang berbentuk naratif. Cerpen mengisahkan sepenggal kehidupan manusia yang penuh pertikaian, mengharukan atau menyenangkan, dan mengandung kesan yang tidak mudah dilupakan.
3) Novel, karangan imajinatif yang mengisahkan sisi utuh atas probematika kehidupan manusia atau beberapa orang tokoh.
4) Otobiografi, berisi kisah cerita tentang pribadi si pengarang sendiri, mengenai pengalaman hidupnya sejak kecil hingga dia dewasa.
5) Biografi, berisi suatu kisah atau cerita tentang pengalaman hidup seseorang dari kecil hingga dewasa atau bahkan sampai meninggal dunia yang ditulis oleh orang lain.
6) Essay, karangan yang berupa kupasan tentang suatu hasil karya sastra, kesenian, atau bidang kebudayaan yang dilakukan oleh seorang ahli di bidangnya.
7) Kritik: kupasan tentang satu karya sastra, kesenian, serta bidang kebudayaan yang ditulis oleh seorang ahli dengan menekankan pada fakta yang objektif.
-Jenis-jenis Drama
Jika kamu pernah menonton sinetron atau film, pernahkah kamu menonton sebuah pertunjukan wayang atau lenong? Nah, sinetron, film, wayang, dan lenong juga merupakan drama. Sinetron dan film merupakan jenis drama modern, sedangkan wayang dan lenong merupakan jenis drama klasik. Agar kamu lebih memahaminya, bacalah pembagian drama berikut ini
1. Drama menurut masanya dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu
• Drama Baru/Drama Modern Drama baru adalah drama yang memiliki tujuan memberikan pendidikan kepada masyarakat yang umumnya bertema kehidupan manusia sehari-hari. Contoh drama baru/modern adalah sinetron, opera, dan film.

• Drama Lama/Drama Klasik
Drama lama adalah drama khayalan yang umumnya menceritakan tentang kesaktian, kehidupan istana atau kerajaan, kehidupan dewa-dewi, kejadian luar biasa, dan sebagainya. Contoh drama tradisional/klasik, seperti lenong (pertunjukan sandiwara dengan gambang kromong dari Jakarta), topeng Betawi, dagelan/ketoprak (sandiwara tradisional Jawa dengan iringan musik gamelan, diringi tarian dan tembang), wayang yang dimainkan seorang dalang, dan randai (tarian yang dibawakan oleh sekelompok orang yang berkeliling membentuk lingkaran dan menarikannya sambil bernyanyi dan bertepuk tangan).
2. Drama menurut kandungan isi ceritanya, yaitu
• Drama Komedi Drama komedi adalah drama yang lucu dan menggelitik penuh keceriaan.
• Drama Tragedi Drama tragedi adalah drama yang ceritanya sedih penuh kemalangan.
• Drama Tragedi Komedi Drama tragedi-komedi adalah drama yang ada sedih dan ada lucunya.
• Opera Opera adalah drama yang mengandung musik dan nyanyian.
• Lelucon/Dagelan Lelucon adalah drama yang lakonnya selalu bertingkah pola jenaka merangsang gelak tawa penonton.
• Operet / Operette Operet adalah opera yang ceritanya lebih pendek.
• Pantomim Pantomim adalah drama yang ditampilkan dalam bentuk gerakan tubuh atau bahasa isyarat tanpa pembicaraan.
• Tablo Tablo adalah drama yang mirip pantomim yang dibarengi oleh gerak-gerik anggota tubuh dan mimik wajah pelakunya.
• Passie Passie adalah drama yang mengandung unsur agama/relijius.
• Wayang Wayang adalah drama yang pemain dramanya adalah boneka wayang.

Selasa, 12 Juli 2011

Urgensi Kurikulum dan Pendidikan Kebudayaan di Indonesia

Urgensi Pendidikan dan Kurikulum Kebudayaan di Indonesia*
Oleh :
Muhammad Basir Matondang **

A. Latar Belakang
Di tengah guncangan badai globalisasi, masyarakat Indonesia dihadapkan pada sebuah ujian yang maha dahsyat dan multikompleks. Sehingga masyarakat Indonesia lebih disibukkan dengan masalah ekonomi, hukum, politik dan polemik-polemik sosial lainnya. Bahkan penyakit yang kini membudaya di kalangan para pejabat yang bernama Korupsi merupakan berita yang paling hangat dan santer di seluruh penjuru tanah air bahkan internasional. Tapi pendekatan yang dilakukan dalam menghadapai penyakit moral yang satu ini adalah pendekatan hukum. Hasilnya dapat kita lihat sendiri bahwa dengan jalan hukum saja, korupsi tidak bisa di tumpas.
Kalau di telaah lebih dalam lagi, ada sebuah hal yang mendasari terjadinya ujian multikompleks ini bukan hanya sebatas pengaruh globalisasi tetapi juga penyakit masing-masing individu masyarakat Indonesia. Yah, masyarakat Indonesia saat ini mengalami degradasi moral yang cukup signifikan bahkan memberi pengaruh yang sistemik terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan. Masalah moral bukanlah masalah hukum tetapi masalah moral yang menimpa bangsa Indonesia adalah masalah pendidikan dan kebudayaan. Kenyataannya, peranan pendidikan dan kebudayaan dikesampingkan disegala urusan, orang lebih mementingkan kebutuhan ekonomi, politik, hukum dan sosial.
Namun, optimalisasi pendidikan dan kebudayaan akan menjamin terbukanya solusi terhadap penyakit moral dan mendongkrak nilai-nilai etika dan estetika yang bermanfaat bagi keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, optimalisasi kebudayaan dan pendidikan di Indonesia adalah kerinduan bangsa Indonesia.

B. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Terinternalisasinya pengetahuan tentang kondisi kebudayaan Indonesia kepada generasi penerus bangsa khususnya mahasiswa.
2. Memberikan gambaran tentang sinergisitas antara kurikulum kebudayaan dan pengaruhnya terhadap pendidikan bagi generasi penerus bangsa.
3. Sebagai bahan perbandingan kebudayaan antar daerah di Indonesia.

C. Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah :
1. Timbulnya kesadaran generasi penerus bangsa khususnya mahasiswa untuk turut serta dalam menjaga, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan di Indonesia baik dalam konteks kedaerahan maupun konteks nasional, baik berupa benda budaya, aktifitas kebudayaan dan idealisme kebudayaan.
2. Timbulnya idealisme, khususnya mahasiswa sebagai kaum intelektual dalam mempertahankan kebudayaan Indonesia secara komprehensif terhadap gangguan, ancaman dan hambatan dari luar maupun dalam negeri.
3. Terwujudnya sinergisitas antara pendidikan sebagai wahana penempaan karakter generasi bangsa dan kebudayaan sebagai rangkuman nilai-nilai etika dan estetika bangsa.

D. Pembahasan
1. Pendidikan
Pendidikan menurut UU Sisdiknas 2003 Pasal 1 ayat 1 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Pendidikan adalah salah satu pilar terpenting untuk meningkatkan kualiats manusia, faktanya pilar tersebut digunakan untuk menghitung Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dari data Human Development Report 2007-2008, HDI Indonesia sebesar 0,728 dan berada di rangking 107 dari 177 negara yang disurvei oleh UNDP. Hal ini sangat memprihatinkan. Dengan bertambahnya secara kuantitatif seharusnya dunia pendidikan Indonesia mampu mendongkrak kualitatifnya di mata Internasional. Hal ini mengindikasikan ada yang salah dengan sistem pendidikan di Indonesia.
Kondisi ini menunjukkan adanya hubungan yang berarti antara penyelenggaraan pendidikan dengan kualitas pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang dihasilkan selama ini. Secara logika, seharusnya pendidikan mampu mewujudkan sumber daya manusia yang maju, unggul dan siap bersaing di pasar internasional terkait mutu dan kualitas yang siap pakai. Walau dengan berbagai program pendidikan yang terencana, tentu saja dengan hasil UNDP tadi, kita melihat ada hal yang kurang. Yaitu dalam hal penempaan karakter generasi penerus. Sehingga ketika aspek karakter diabaikan, terjadilah degradasi moral dalam penempaan generasi bangsa.

2. Kebudayaan
Secara sepintas, berbicara mengenai kebudayaan kita akan dihadapkan pada sebuah persepsi dasar mengenai benda-benda kuno. Seperti candi, makam, artefak, kerajaan, relief, dan sebagainya. Namun, persepsi yang di atas hanya sebagian kecil dari kebudayaan karena kenyataannya bahwa kebudayaan memiliki aspek yang sangat luas dan diimplementasikan pada setiap bidang baik itu sosial, ekonomi, hukum, politik dan sebagainya.
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat, yang dijadikan milik manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1986). Menurut Harrison dan Huntington (2000 ; 163) bahwa kebudayaan adalah ide komunitas tentang apa yang benar, baik, indah dan efesien. Lain lagi dengan pandangan Soekanto (1983), beliau berpendapat bahwa kebudayaan adalah hasil karya, rasa dan cipta manusia yang didasarkan pada karsa. (dalam Anshari, 2010 :2).
Yang terpenting dari kebudayaan adalah nilai-nilai etika dan estetika yang diimplementasikan ke segala bidang. Baik itu Politik, Sosial, Hukum, dan aspek lainnya. Jika kebudayaan Indonesia dijadikan sebagai wahana penempaan karakter bangsa, maka kemungkinan besar hadir sebuah solusi terhadap degradasi moral yang menghinggapi Indonesia saat ini. Untuk lebih memahamkan dalam rangka menyamakan persepsi kita akan melihat wujud kebudayaan itu sendiri.

3. Wujud Kebudayaan
Dari ketiga defenisi di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa secara nyata, kebudayaan terdiri dari tiga wujud yaitu ide/gagasan yang mencakup nilai dan norma, aktifitas berpola, dan benda fisik budaya/artefak.
• Ide / gagasan yang akan melahirkan idealisme ini adalah wujud kebudayaan yang abstrak tetapi dapat dirasakan oleh manusia. Ide/ gagasan mencakup pada nilai-nilai hidup dan norma-norma yang berlaku. Kalau kita melihat dalam konteks kekinian, wujud kebudayaan yang pertama inilah yang menjadi permasalahan bangsa Indonesia yang paling serius. Maka perlu peranan yang nyata antara penanganan kebudayaan dan pendidikan. Tentu saja dalam fungsinya dalam menanamkan karakter etika, estetika, norma dalam diri generasi penerus Indonesia. Ketika seseorang memiliki karakter yang kuat, maka akan timbul idealisme yang kuat. Karakter etika yang kuat akan membentuk idealism etika yang kuat juga.
• Aktifitas berpola ini adalah mencakup aktifitas yang dilakukan oleh manusia dalam kesehariannya. Misalnya dalam konteks agama, pada bulan Ramadhan ummat muslim wajib menunaikan ibadah puasa. Hal ini berlanjut dan berpola pada setiap bulan Ramadhan. Maka puasa adalah kewajiban yang membudaya di kalangan ummat muslim. Sama halnya dengan budaya Pesta Panen, hal ini dilakukan setiap sawah usai di panen maka diadakan pesta. Kegiatan ini berpola pada setiap usai memanen padi dan akhirnya menjadi kebudayaan.
• Benda fisik budaya adalah bentuk-bentuk kebudayaan yang tertuang dimensi ruang dan waktu. Mencakup artefak (benda-benda kuno), hal-hal yang bisa dipentaskan misalnya tari-tarian, hal-hal yang bisa di indera seperti lagu dan sebagainya. Khusus untuk benda fisik Indonesia tidak memiliki kekuatan secara formal melindungi, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan dalam wujud ketiga ini. Contohnya pada kasus yang menimpa Indonesia dengan pengklaiman hak milik atas asset kebudayaan Indonesia oleh Malaysia. Seperti yang terjadi pada Reog Ponorogo, Lagu Rasa Sayange, Tari Pendet. Di sisi lain, penemuan artefak-artefak kuno di pantai Cirebon yang akhirnya tidak disimpan di museum tetapi di jual dengan harga mancapai 500 juta. Dan yang terakhir adalah berita yang sangat menggemparkan yaitu pengklaiman hak milik oleh Belanda terhadap lagu-lagu Almarhum Gesang tepat dua minggu sebelum sang Maestro menghembuskan nafas terakhirnya di Solo.
Kondisi ini cukup memprihatinkan karena ternyata UU Benda Cagar Budaya yang sudah ada pada tahun 1992 tidak mampu melindungi asset budaya berbentuk fisik secara komprehensif. Oleh karena itu dengan adanya RUU Kebudayaan yang diterbitkan pada 2009 lalu dan diperkuat oleh substansi hadirnya isu mengenai kurikulum kebudayaan dalam fungsinya menempa karakteristik bangsa, dan ditambah dengan kesadaran seluruh bangsa Indonnesia, bisa saja kebudayaan akan semakin terjaga dan terkembangkan secara komprehensif di tiga wujudnya.
4. Kurikulum
Dari sudut pandang klasik, kita akan menemukan bahwa kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran / mata kuliah (untuk perguruan Tinggi) yang harus ditempuh oleh peserta didik untuk mencapai tingkat atau ijazah.
Tetapi sesuai dengan UU Sistem Pendidikan Nasional no. 20 tahun 2003, kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara-cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Kurikulum merupakan bagian penting dalam proses belajar mengajar, dengan adanya kurikulum maka optimalisasi antara proses belajar dan substansi yang ditawarkan akan mencappai sebuah kesatuan yang utuh dan memiliki tujuan yang sama.

5. Kurikulum Kebudayaan
Dalam rangka optimalisasi antara pendidikan dan kebudayaan, maka wacana yang mampu menjamin adanya luaran yang nyata adalah kurikulum kebudayaan. Kurikulum kebudayaan adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, bahan pelajaran serta cara-cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran kebudayaan. Tentunya kebudayaan di atas adalah kebudayaan yang melingkupi ketiga wujud kebudayaan yang ada sebagai penempaan karakteristik bangsa.
Sebenarnya ada beberapa daerah yang sudah menjalankan kurikulum kebudayaan di daerahnya tentunya demi mempertahankan kebudayaan daerahnya dan kearifan lokalnya, tetapi sungguh menyedihkan bahwa ternyata kurikulum kebudayaan hanya ada di beberapa daerah saja seperti di Sumatera Barat ada mata pelajara BAM (Budaya Adat Minangkabau). Mata pelajaran ini dipelajari mulai kelas 4 SD sampai kelas 3 SMP. Lain halnya dengan Surakarta. Setelah mengadakan diskusi dengan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemko Surakarta pada tanggal 19 Mei 2010 di Ruang Sidang kampus FSSR Universitas Sebelas Maret Surakarta, bahwa di Surakarta ada kurikulum kebudayaan yaitu pendidikan Karawitan. Tetapi itu akan disempurnakan dengan sebuah wacana baru yang baru dicanangkan oleh walikota yaitu kurikulum Budi Pekerti.
Hal ini akan membuahkan hasil yang baik apabila sistem ini dapat diadopsi oleh seluruh daerah di Indonesia khususnya Sumatera Utara.

6. Pendidikan dan Kebudayaan
Hubungan antara pendidikan dan kebudayaan digambarkan sebagai hubungan ontologism dan epistimologis. Dalam konteks semakin menguatnya dan timbulnya etnonasionalisme, maka hubungan antara pendidikan dan kebudayaan semakin menonjol. Sedangkan di dalam prakteknya, ada berbagai model pendidikan untuk kesadaran dan pengembangan kohesi sosial, yaitu pendidikan multicultural, pendidikan transkultural, dan pendidikan intercultural. Tujuan dari metode pendidikan ini adalah untuk pengembangan sikap toleransi dalam masyarakat.
Pendidikan inter-kulutural ditekankan kepada eksistensi budaya-budaya atau sub budaya yang ada. Dalam rangka pengembangan kohesi sosial maka yang diperlukan ialah kegiatan interaksi budaya. Bentuk yang lain ialah trans-kultural yang mencari bentuk-bentuk universalitas dari budaya-budaya yang ada. Model trans-kultural ini barangkali yang telah kita gunakan di dalam praksis pendidikan selama Orde Baru.
Bagi masyarakat Indonesia dalam rangka otonomi daerah, model yang tepat ialah pendidikan multi-kultural. Artinya masing-masing budaya etnis yang ada di dalam masyarakat mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk berkembang.
Pendidikan sebagai bagian konstitutif dari kebudayaan adalah sebuah proses yang membiasakan anak didik mengenal, mempelajari, menguasai, dan menerapkan nilai-nilai yang diakui berguna bagi dirinya, keluarganya, humanitas, bangsa dan negara. Persekolahan adalah bentuk institusional dari pendidikan yang secara resmi ditugasi untuk melakukan pendidikan melingkupi mengajarkan pengetahuan, mendidik sikap, keterampilan, seni dan norma-norma hidup yang berlaku.
Tetapi sangat disayangkan bahwa pendidikan Indonesia saat initidak berorientasi pada kebudayaan sendiri, artinya pendidikan di Indonesia tidak menopang adanya pewarisan budaya yang ada di Indonesia. Sehingga membuat mentalitas dan karakter anak didik menjadi asertif terhadap kebudayaan sendiri. Kenyataannya justru mereka terperangkap dalam kontak budaya dengan budaya asing yang belum tentu memiliki nilai yang baik untuk diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat Indonesia. Maka tidak heran jika nilai-nilai kebudayaan hilang dalam karakteristik bangsa Indonesia.
Sangat tepat sekali bahwa untuk penempaan karakter bangsa atau generasi penerus bangsa digunakan media nasional pendidikan. Yang harus dilakukan sekarang adalah mewujudkan pendidikan sebagai pengiring kebudayaan. Maka isu yang berkembang saat ini mengenai kurikulum kebudayaan adalah wacana yang tepat terkait dengan pendidikan kebudayaan.
Ketika kita berbicara mengenai pendidikan dan kebudayaan, maka kita dihadapkan pada dua substansi yang seharusnya berjalan seiring dalam mengiring kebudayaan Indonesia. Yaitu Pendidikan berbasis Kebudayaan dan Kebudayaan berbasis Pendidikan.
Kebudayaan berbasis pendidikan adalah salah satu substansi yang memberikan pendekatan nilai-nilai kebudayaan mencakup etika dan estetika pada semua mata pelajaran yang ada saat ini. Adanya nilai-nilai yang dituntut dalam sebuah kurikulum akan mampu menempa karakteristik siswa sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan. Esensi dari Pendidikan berbasis kebudayaan ini adalah optimalisasi ranah afektif dan psikomotorik dalam setiap mata pelajaran.
Dan Kebudayaan berbasis Pendidikan adalah salah satu substansi yang memberikan pandangan bahwa dalam rangka optimalisasi kebudayaan dan pendidikan perlu dicanangkannya mata pelajaran baru yaitu mata pelajaran yang bernuansa kebudayaan. Esensi dari substansi ini adalah lahirnya mata pelajaran baru.
Kita sebagai masyarakat Indonesia tidak akan mempermasalahkan kedua substansi yang lahir ini mana yang harus dipakai dan mana yang tidak dipakai. Tetapi kedua substansi ini berjalan beriring mengawali kebudayaan Indonesia yang hamper punah melalui dunia pendidikan. Dan akhirnya tersampaikannya nilai-nilai etika dan estetika pada generasi penerus bangsa dan lahir idealism dalam mempertahankan kebudayaan di Indonesia.

7. Kesimpulan
Melihat dalam konteks kekinian, kita tengah di hadapkan pada sebuah permasalahan yang multikompleks yang sebenarnya itu adalah masalah kebudayaan. Sungguh memprihatinkan bahwa kebudayaan Indonesia yang beraneka ragam kini seenaknya diklaim oleh bangsa lain bahwa itu milik mereka, sementara di sisi lain, masyarakat Indonesia tengah mengalami degradasi moral dan tidak memiliki idealisme dalam mempertahankan kebudayaan Indonesia sendiri.
Setelah di telaah lebih mendalam, kita sepakat bahwa UU Benda Cagar Budaya pada tahun 1992 tidak bisa melindungi kebudayaan secara komprehensif. Hingga pada tahun 2009, adanya RUU Kkebudayaan yang diharapkan bisa melindungi kebudayaan secara komprehensif. Di tambah dengan adanya pencanangan Kurikulum kebudayaan secara nasional.
Maka, dalam membangun sebuah persepsi yang sama. Pendidikan sebagai wahana penempaan karakter anak bangsa mencakup pengetahuan, keterampilan, seni dan norma perlu di optimalisasikan secara menyeluruh dengan melahirkan wacana pendidikan kebudayaan. Maka wujud nyata pendidikan kebudayaan sudah ada berupa kurikulum kebudayaan dan mencoba mensinergikan antara kebudayaan berbasis pendidikan dan pendidikan berbasis kebudayaan. Sehingga terciptanya pendidikan sebagai pengiring kebudayaan.



BAHAN BACAAN
Anshari, Khairil. 2010. Urgensi Kurikulum Kebudayaan dalam Penempaan Karakter Bangsa Indonesia. Medan:UNIMED.(unpublished)

Arifin, Zainal. 2004.Pendidikan Nasional sebagai Pengiring Kebudayaan Nasional. Makalah(unpublished)

Assegaf, Abdur Rahman, dkk.2007. Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Suka Press

Firman,Hendriko.2010.Kebudayaan dan Kurikulum Pendidikan Indonesia. Makalah Semnas(unpublished)

Joesoef, Daoed. 1982. Aspek-Aspek Kebudayaan yang Harus Dikuasai Guru, dalam Majalah Kebudayaan, no. 1 , tahun 1981/1982

Koentjaraningrat, 1986, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta, Aksara Baru.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.1983. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta:Pusbinbangsa

Swasono, Meutia F.H. (1974). Generasi Muda Minangkabau di Jakarta: Masalah Identitas Sukubangsa. Skripsi Sarjana. Jakarta: Fakultas Sastra UI
Swasono, Meutia F.H. 1975. Kebudayaan Nasional Indonesia : Penataan Pola Pikir. Makalah Sarjana. Jakarta : Fakultas Sastra UI.
Tilaar, H.A.R.2002.Perubahan Sosial dan Pendidikan.Jakarta: Grasindo
http://www.bcc.edu/NWCET/cdk/Overview/Standard.htm
http://74.125.155.132/search?q=cache:AdSU8pXlfKoJ:fikrieanas.wordpress.com/budaya-dan-pendidikan/+&cd=5&hl=id&ct=clnk&gl=id