Rabu, 07 September 2011

SISTEM SASTRA, KONVENSI BAHASA DAN KONVENSI SASTRA

SISTEM SASTRA, KONVENSI BAHASA DAN KONVENSI SASTRA
A. Pendahuluan
Menurut Pratt Sinter untuk berhasil membaca karya sastra , memahami, dan menafsirkannya orang harus siap mental dan tahu tentang konvensi yang dimiliki karya sastra. Konvensi adalah aturan sosial, sesuatu yang disetujui/disepakati masyarakat. Diantara konvensi-konvensi di bidang sastra yang harus diketahui adalah sistem sastra. Sistem sastra merupakan asas, prinsip, dan norma-norma sastra yang sudah tersusun secara teratur yang harus disepakati. Walaupun karya sastra merupakan satu bangunan atau struktur yang berisi berbagai macam ilmu pengetahuan, secara universal tidak mungkin lepas sepenuhnya dari sistem sastra yang ada. Pada sisi lain, sistem sastra sifatnya longgar. Hal ini disebabkan karya sastra merupakan karya individual.
Adapun sistem sastra yang patut diketahui agar dapat melakukan penafsiran dalam rangka memproduksi makna menurut Fananie ( 2000: 23 – 62 adalah: konvensi bahasa, konvensi sastra, dan aliran sastra. Selain tiga hal itu, Teeuw ( 1984:95-119) menambahkan konvensi budaya, jenis sastra /genre, dan teks sastra sebagai sistem sastra. Sejalan dengan Teeuw dan Fananie di atas, Pradopo ( 2002: 47-63) menambahkan kerangka kesejarahan: hubungan intertekstual sebagai salah satu sistem sastra yang perlu mendapat perhatian apabila akan menafsirkan karya sastra dengan kerangka semiotik., Keseluruhan sistem sastra itu sebagaimana diuraikan berikut ini.

B. Konvensi Bahasa
Karya sastra adalah karya seni yang mediumnya sudah bersifat tanda yang mem¬punyai arti, yaitu bahasa. Tanda kebahasaan itu adalah bunyi yang dipergunakan sebagai simbol, yaitu tanda yang hubungannya dengan artinya itu bersifat arbitrer atau semau¬maunya. Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi masyarakatnya. Para pemakai bahasa tunduk kepada sistem konvensi bahasa itu, seperti konvensi tata bahasa dan konvensi¬. Artinya, para sastrawan sebagai pemakai bahasa untuk karya sastranya tunduk kepada sistem konvensi bahasa yang dipergunakannya ( Teeuw, 1984:96). Jadi, bahasa da¬lam karya sastra sesuai dengan sistem konvensi bahasa yang dipergunakan. Hal ini disebabkan, seperti dikemukakan Teeuw (1984:96),
Bahasa sebagai sistem tanda me¬nyediakan perlengkapan konseptual bagi dasar pemahaman dunia nyata dan sekaligus merupakan dasar komunikasi antaranggota masyarakatnya. Oleh karena itu, pembaca karya sastra dalam memproduksi makna juga tunduk kepada sistem bahasa yang caper digunakan pertama kali,pembaca atau kritikus dalam memproduksi makna kata-kata, trase, atau kalimat dalam sastra itu harus memperhatikan sistem bahasa yang di¬pergunakan itu. Dengan demikian, ia akan mendapatkan ketepatan arti teks sastra tersebut.
Seringkali sastrawan mempergunakan bahasa yang tampaknya menyimpang dari penggunaan bahasa yang umum. Akan tetapi, sesungguhnya sastrawan dalam memper-gunakan bahasa itu masih dalam ruang lingkup konvensi bahasa yang dipergunakan. Bila tidak demikian, bahasanya tidak komunikatif, berarti makna karya sastranya tidak dapat diproduksi berdasarkan sistem konvensi bahasa yang dipergunakan. Dalam arti, ia tetap tidak menyimpang sama sekali dari sistem konvensi bahasa yang dipergunakan. Hal ini seperti dikemukakan Teeuw (1984:97) bahwa sistem kemaknaan sebuah bahasa cukup lincah, luwes, dan longgar sehingga memberikan segala kemungkinan kepada sastrawan untuk secara dan orisinal memanfaatkannya

C. Konvensi Sastra
Di samping tunduk kepada konvensi bahasanya, sastrawan juga terikat oleh konvensi sastra yang dipergunakan. Dengan adanya sistem konvensi sastra di samping konvensi bahasa, maka ada konvensi tambahan (Preminger, 1974:980, 981), yaitu konvensi tambahan kepada konvensi bahasa. Dengan demikian, konvensi bahasa ini ditingkatkan kepada konvensi yang lebih tinggi kedudukannya, yaitu konvensi sastra. Di sini arti (meaning) ditingkatkan kepada makna (significance). Pertentangan antara arti dan makna merupakan prinsip semiotik sastra yang terpenting (Riffaterre via Teeuw, 1984:99).
Dengan begitu, dalam memproduksi makna di samping harus memperhatikan system konvensi bahasa yang dipergunakan, pembaca juga harus memperhatikan sistem konvensi sastra.Jadi, arti bahasa (meaning) dalam karya sastra tidak semata-mata sama-dengan sistem bahasa, tetapi mendapat arti tambahan yang merupakan makna sastra (significance) berdasarkan tempat dan fungsinya dalam struk¬tur sastranya; maknanya ditentukan fungsinya dalam struktur.
Meskipun demikian, sastrawan pun belum tentu memenuhi konvensi-konvensi sastra itu seratus persen. Hal ini disebabkan oleh prinsip kreativitas sastra dan hakikat sastra itu sendiri, yaitu selalu dalam ketegangan antara konvensi dengan penemuan (invensi, inovasi) (Teeuw,1984:101,102); Karena itu, sastra selalu berada dalam ketegangan antara aturan dan kebebasan, mimesis dan tiruan dan ciptaan, antara Horatius (dengan art poeticanya yang normatif) dan Longinus (dengan pengagungan daya kreatif), antara technique dan talent, limit dan license, antara convention dan invention. (Levin, 1950: 65). Karya sastra itu di satu pihak terikat kepada konvensi, tetapi di lain pihak, juga ada kelonggaran dan kebebasan dalam mempermainkan konvensi tersebut. Penyimpangan itu biasa disebut defamiliarisasi atau deotomasisasi (Teuuw dalam Pradopo 2002:48).
Penyimpangan konvensi tersebut memang sangat dirasakan apabila pembaca mempunyai latar belakang pada konvensi yang sudah ada. Karenanya penyimpangan konvensi seperti dikatakan Teeuw, baru dan hanya mungkin efektif atas dasar adanya kon vensi yang disimpangi (Teuuw,1984:102). Dengan kata lain, penyimpangan tersebut akan memberikan satu makna apabila mampu memberikan sesuatu berdasarkan tatanan yang ditimbulkan. Walaupun pengarang sastra modern banyak melakukan penyimpangan dari konvensi yang telah ada, kenyataannya mereka tidak dapat melepaskan diri secara total akan konvensi sastra. Adapun bentuk dan perwujudan karya sastra mereka, konvensi sastra selalu tercermin di dalamnya.
Secara general konvensi sastra dapat dilihat melalui penanda-penanda yang terdapat pada karya sastra. Menurut Fananie (2000:44-46) ada sembilan penanda konvensi sastra itu. Singkatnya adalah sebagai berikut:
1) Bahasa yang dipakai selalu bersifat estetis, puitis, menyentuh rasa dengan pendar keindahannya.
2) Karya sastra bersifat imajinatif/ fiktif, yaitu suatu cerita rekaan yang berangkat dari daya khayal kreatif.
3) Bahasa sastra bersifat konotatif dan multiinterpretable.
4) Bahasa sastra bersifat simbolis, asosiatif, sugestif, dan konotatif.
5) Bahasa sastra bersifat sublime dan etis.
6) Karya sastra tertentu merupakan suatu katarsis, yaitu suatu upaya bersih diri dari lengketan debu-debu dan lepotan lumpur dan kehidupan dunia.
7) Tokoh-tokoh dalam novel, roman, repertoar, scenario, balada, dilukiskan dalam karakter, pribadi, dan pencandraan diri yang kuat dan meyakinkan.
8) Setting, dilukiskan dengan cermat dan hidup, sedang plotnya begitu memikat.
9) Puisi-puisi konvensional ditata dalam larik-larik dan bait-bait yang didalamnya terdapat aliterasi, asonansi, irama, persajakan, enjambemen, korespondensi, dan nuansa puitik
Konvensi-konvensi sastra yang bersifat general tersebut secara rinci dapat digolongkan menjadin tiga kategori yang masing-masing katagori mempunyai spesifikasi tersendiri. Kategori tersebut meliputi:

A. Puisi
Konvensi dan spesifikasi yang terdapat dalam puisi dapat meliputi:
a. Struktur fisik, yang terdiri dari:
1) Diksi
2) Pengimajian
3) Kata konkrit
4) Bahasa figurative
5) Versifikasi ( rima, ritme, metrum)
6) Tipografi

b. Struktur batin, yang meliputi:
1) Tema
2) Perasaan (felling)
3) Nada dan suasana
4) Amanat


B.Prosa
Berbeda dengan puisi, unsur konvensi dalam prosa dapat meliputi:
1) Tema dan subtema
2) Amanat
3) Penokohan
4) Plot
5) Pusat pengisahan
6) Gaya bahasa

C.Drama
1) Konflik manusia sebagai dasar dari lakon
2) Naskah drama dan strukturnya:
i) Plot atau kerangka cerita
ii) Penokohan dan perwatakan
iii) Dialog ( Percakapan)
iv) Setting/ Landasan / tempat kejadian
v) Tema / Nada dasar cerita
vi) Amanat / pesan pengarang
vii) Petunjuk teknis
viii) Drama sebagai interpretasi kehidupan
( Waluyo, 2006:4-32)

4 komentar: