Kamis, 24 November 2011

“KUNJUNGAN BUDAYA DAN KULIAH ALAM SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN KARAKTER BERBASIS KEARIFAN LOKAL BAGI MAHASISWA BARU ”

Oleh : Muhammad Basir Mtd

A. Latar Belakang
Pendidikan adalah yang utama dan terutama di dalam kehidupan era masa sekarang ini. Sejauh kita memandang maka harus sejauh itulah kita harus membekali diri kita dengan berbagai pendidikan. Kita jangan salah memahami bahwa pendidikan diperoleh dengan cara menempuh jalur formal saja, dengan cara datang, duduk, mendengar dan selanjutnya hingga akan memperoleh penghargaan dari test yang sudah dilewati.
Pendidikan dapat diperoleh dengan berbagai cara terlebih lagi semakin mendukungnya perkembangan alat-alat elektronika sekarang ini. Dengan mudah kita beroleh informasi tentang perkembangan zaman baik dari belahan bumi barat terlebih lagi dari negara tetangga.
Pendidikan, pengetahuan dan keterampilan adalah tiga unsure yang akan menentukan masa depan seorang manusia. Hal ini tergantung sejauh mana masing-masing individu membekali dirinya tentang ketiga hal di atas. Sepintas lalu, mungkin banyak cara yang ditempuh oleh masing-masing individu. Dan cara inipun memungkinkan sejauh mana kualitas pencapaian pengetahuan dan keterampilannya.
Lumrahnya mahasiswa baru yang masih terlena dengan euphoria keremajaannya di SMA/sederajat dan rentan sekali terhadap pengaruh kebudayaan-kebudayaan yang tidak sehat. Tidak mustahil bahwa mereka seringkali “terkejut” ketika menginjakkan kakinya ke dalam dunia kampus dengan nuansa ilmiah yang lebih. Berbagai aktifitas mereka jalani secara kompleks sehingga mereka terbangun sendiri bahwa mereka adalah mahasiswa.
Selain itu, dalam era globalisasi, arus informasi begitu deras mengalir, batas-batas geografis juga tidak menjadi hal yang berarti. Hal ini menyebabkan banyak terjadi pencampuran budaya maupun nilai-nilai yang ada. Seringkali anak anak bahkan mahasiswa lebih mengetahui hasil kebudayaan modern dibandingkan dengan kebudayaan di sekitarnya. Ditambah lagi dengan kondisi lingkungan yang kurang kondusif dimana sikap egoistis dan individualis menjadi ancaman bagi kepribadian individu. Sering pula kita silau dengan budaya maupun nilai-nilai luar menganggap hal itu lebih baik dibanding budaya sendiri. Rasa keminderan/inferioritas merasuk dalam diri anak bangsa. Sehingga terlahirlah sikap asertif terhadap kebudayaan kita sendiri. Akhir dari segalanya adalah terjadinya pembekuan karakter mahasiswa, dan lama kelamaan akan larut seiring perkembangan zaman.
Hal di atas juga seringkali menimpa mahasiswa khususnya mahasiswa baru. Sehingga dikhawatirkan akan terjadi kepunahan terhadap kebudayaan bangsa sendiri. Sikap egoistis yang tinggi akan mengiring generasi muda buta akan kebudayaan Indonesia.
Melihat fenomena tersebut, maka kita sebagai anak bangsa memerlukan sebuah desain jangka panjang agar generasi muda khususnya insane akademis muda tidak buta akan kebudayaan dan kearifan local bangsa Indonesia. Kita perlu memberikan suplemen yang mampu mendoktrin mahasiswa sebagai agent of change dan social control khususnya penanaman karakter berorientasi pada kebudayaan dan kearifan local.
Maka, sangat menarik jika kita mendesain sebuah acara dalam rangka penanaman karakter berbasis kearifan local yang terangkum dalam kunjungan budaya dan kuliah alam.

B. Pembahasan

1. Kearifan Lokal
Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai ‘kearifan/kebijaksanaan’.
Lokal secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut settting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah-laku mereka.
Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban. Secara substansial, kearifan lokal itu adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat. Oleh karena itu, sangat beralasan jika Greertz mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal itu berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit dan masyarakatnya adalah yang menentukan dalam pembangunan peradaban masyarakatnya.
Teezzi, Marchettini, dan Rosini mengatakan bahwa akhir dari sedimentasi kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama. Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari.
Proses sedimentasi ini membutuhkan waktu yang sangat panjang, dari satu generasi ke generasi berikut. Teezzi, Marchettini, dan Rosini mengatakan bahwa kemunculan kearifan lokal dalam masyarakat merupakan hasil dari proses trial and error dari berbagai macam pengetahuan empiris maupun non-empiris atau yang estetik maupun intuitif. Kearifan lokal lebih menggambarkan satu fenomena spesifik yang biasanya akan menjadi ciri khas komunitas kelompok tersebut, misalnya alon-alon asal klakon (masyarakat Jawa Tengah), rawe-rawe rantas malang-malang putung (masyarakat Jawa Timur), ikhlas kiai-ne manfaat ilmu-ne, patuh guru-ne barokah urip-e (masyarakat pesantren), dan sebagainya.

2. Pentingnya Kearifan Lokal
Model pendidikan berbasis kearifan lokal adalah model pendidikan yang memiliki relevansi yang tinggi bagi pengembangan kecakapan hidup (life skill) dengan bertumpu pada pemberdayaan keterampilan dan potensi lokal di masing-masing daerah. Dalam model pendidikan ini materi harus memiliki makna dan relevansi tinggi terhadap pemberdayaan hidup mereka secara nyata berdasarkan realitas yang mereka hadapi. Kurikulum yang harus disiapkan adalah kurikulum yang sesuai dengan kondisi lingkungan hidup, budaya, minat dan kondisi psikis peserta didik.
Pendidikan berbasis kearifan lokal adalah pendidikan yang mengajarkan peserta didik untuk dekat dengan situasi konkrit yang mereka hadapi. Beberapa aspek kehidupan yang menyangkut kearifan lokal antara lain:
1. Kebijaksanaan setempat
2. Pengetahuan setempat
3. Kecerdasan setempat

Cara yang paling efektif untuk melestarikan kearifan lokal sekaligus mengembangkan nilai yang terkandung di dalamnya adalah melalui pendidikan, baik formal maupun non-formal. Secara non-formal dapat dilakukan di waktu liburan sebagai sarana pengisi liburan dengan kegiatan yang bermanfaat, maka Kunjungan Budaya dan Kuliah Alam dapat menjadi solusi. Ada dua manfaat yang dapat diambil yakni sebagai pengisi liburan yang bermanfaat sekaligus penanaman nilai-nilai dari kearifan lokal sejak dini.

3. Mahasiswa Baru
Secara psikogis, posisi mahasiswa baru bisa disamaratakan dengan masa peralihan dalam hal pemikiran. Euforia semasa SMA/sederajat yang mereka nikmati masih kental dalam memori dan masih mempengaruhi system kognisi mereka. Sensitifitas perasaan masih bersemayam dalam jiwa muda mereka. Kondisi psikologis seperti ini akan mempengaruhi pola pergaulan dan pola interaksi social mereka. Bahkan mereka dalam beberapa hal tidak akan selektif seperti untuk memilih teman, untuk beraktifitas dan rentan mudah terpengaruh dengan kebudayaan dan pola hidup modern yang menurut kacamata etika tidak cocok dengan kebudayaan bangsa Indonesia.
Berbicara masalah karakter mahasiswa baru. Labil adalah kesan pertama yang harus kita sematkan. Oleh karena itu, dalam rangka membangun karakter tersebut. Perlu beberapa hal yang bias menarik minta mereka. Dalam tulisan ini, kita akan mencoba penanaman karakter berbasis karifan local melalui kunjungan budaya dan kuliah alam.

4. Pembangunan Karakter
Dalam sejarah perjalanan bangsa, Indonesia dikenal memiliki banyak kekayaan karakter, yaitu bangsa yang memiliki karakter pejuang, bangsa yang percaya dengan Tuhan, gotong royong, ramah-tamah dan memilki semangat kekeluargaan. Namun ternyata negara dan pranata yang ada belum bisa mentransformasi modal sosial yang potensial tersebut untuk membangun etos kerja yang kuat dan tidak membuahkan semangat perubahan.
Kampus/ Perguruan Tinggi merupakan salah satu lembaga pendidikan formal yang secara sistematis melaksanakan program bimbingan, pengajaran dan latihan dengan tujuan melatih potensinya. Sehingga pengembangan karakter pada usia yang rentan atau pada saat usia mahasiswa merupakan waktu yang tepat dengan bimbingan yang tepat dapat lebih mengoptimalkan potensi yang nantinya diarahkan sesuai dengan karakter bangsa.
Menurut Havighurst (1961:5) sekolah, dalam hal ini kampus memiliki peran atau tanggung jawab penting dalam membantu siswa mencapai tugas perkembangannya. Pengembangan karakter siswa harus didukung oleh kualitas para guru/ dosen baik menyangkut karakteristik pribadi maupun kompetensinya. Guru/ dosen diharapkan dapat membentuk karakter sisiwa/mahasiswa yang sesuai dengan karakter bangsa.
Pembangunan karakter juga bias disalurkan melalui berbagai kegiatan ekstra kampus. Wadah tersebut di desain sedemikian rupa sesuia denga karakter atau kecenderungan mahasiswa baru. Ada kegiatan ekstra yang berorientasi pada bidang keagamaan, bidang olahraga, bidang music, dan lain sebagainya.Dalam rangka penempaan karakter, secara menyeluruh akan di desain acara, biasanya, dalam dunia kampus dikenal dengan inegurasi atau pembekalan mahasiswa baru. Tapi cara ini sudah lama diterapkan dan belum terbukti efektif dalam menempa karakter mahasiswa baru menjadi mahasiswa yang seutuhnya. Oleh karena itu, ada baiknya dengan cara kunjungan budaya dan kuliah alam diharapkan mampu menempa karakter mahasiswa baru.

5. Pentingnya Pembangunan Karakter
Bangsa Indonesia dikenal memiliki banyak kekayaan karakter, yaitu bangsa yang memiliki karakter pejuang, bangsa yang percaya dengan Tuhan, gotong-royong, ramah-tamah dan memiliki semangat kekeluargaan. Namun karakter tersebut seakan sia-sia karena belum menjadi modal untuk menjadi bangsa yang besar dan bermartabat. Kita justru melihat bahwa kekayan karakter yang luar bisa tersebut malah tidak dimanfatkan justru menghasilkan kenyataan yang menyedihkan. Korupsi, inefisiensi kerja, pemalas merupakan cap yang diberikan kepada bangsa kita.

Kemerosotan karakter ini tidak hanya terjadi pada individu maupun kelompok tetapi sudah masuk ke dalam sistem. Dan untuk membenahi sistem ini tentu saja perlu membenahi manusia yang membuatnya. Akan tetapi memperbaiki karakter manusia yang sudah dewasa akan lebih sulit dibandingkan dengan membangun karakter anak-anak sejak dini.
Dalam pembangunan karakter, anak harus dibawa ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan analis secara afektif akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Dalam istilah pedagogiknya disebutkan dari genosis sampai ke praksis. Untuk sampai ke praksis ada satu peristiwa batin yang amat penting yaitu munculnya keinginan yang kuat untuk mengamalkan nilai. Peristiwa ini disebut conatio dan langkah untuk membulatkan tekad ini disebut konatif.
Kita mengetahui bahwa Pendidikan karakter sejak dini merupakan proses edukasi dalam upaya mempersiapkan dan mengembangkan sikap mental sejak awal dalam menghadapi problema kehidupan khususnya remaja. Di dalamnya, terkandung 5 aspek non-fisik yang diharapan bisa terbentuk, yaitu :
a. Kualitas kepribadian (meliputi kedewasaan, ketahanan mental, dan kemandirian)
b. Kualitas bermasyarakat (meliputi kesetiakawanan sosial dan kemampuan bermasyarakat)
c. Kualitas kekaryaan, kualitas wawasan lingkungan dan kualitas spiritual keagamaan

6. Kebudayaan
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.

7. Penerapan Kunjungan Budaya dan Kuliah Alam
1. Definisi
Kunjungan Budaya dan Kuliah Alam merupakan sebuah paket acara yang dilaksanakan secara beruntun selama 3-4 hari dikonsep dengan acara pemberian materi tentang karakter dan berbagai pergerakan mahasiswa yang harus disikapi dan diaplikasikan oleh masing-masing peserta. Di dalamnya terkandung pengenalan budaya setempat yang di dalamnya terkandung substansi dan nilai-nilai bagi pembangunan karakter berbasis kearfan lokal.
2. Tujuan
Tujuan kegiatan ini adalah membangun karakter mahasiswa baru dengan menyadarkan mereka bahwa mereka adalah generasi penerus bangsa berlandaskan nilai-nilai kearifan lokal yang berada di daerahnya. Dengan mengenal budaya serta nilai-nilai yang ada diharapkan mahasiswa selain dapat mengenal budayanya sendiri juga dapat mengambil nilai-nilai positif yang ada. Dengan nilai-nilai positif ini diharapkan dapat menjadi dasar pijakan bagi untuk membangun Indonesia dan bersaing di dunia global.
3. Sasaran Peserta
Sasaran pesertanya adalah mahasiswa baru. Mahasiswa baru ini dibagi menjadi 2-4 kelompok. Pembagian ini semata-mata dimaksudkan untuk memotivasi mahasiswa baru tentang perlunya kerjasama tim dalam menggalang pergerakan.


4. Pelaksanaan Program
Paket kegiatan ini dilakukan selama 3-4 hari. Dilaksanakan di alam bebas misalnya di komplek perkemahan dan objek-objek kebudayaan yang berada di sekitar lingkungan siswa. Dalam pelaksanannya didasarkan pada pedoman pembangunan karakter yang telah dibuat dengan standar yang telah ditentukan oleh panitia / BEM kampus setempat.

C. Kesimpulan dan Saran
Kunjungan Budaya dan Kuliah Alam adalah cara efektif yang dapat dilakukan sebagai upaya pembangunan karakter bagi mahasiswa baru dengan menekankan nilai-nilai kearifan lokal. Hal ini cukup mudah dilaksanakan karena disesuaikan dengan kondisi individu masing-masing. Materi yang disampaikan pada acara ini mengambil dari kebudayaan setempat yang menagandung nilai-nilai kearifan lokal. Serta menyuguhkan berbagai materi atau suplemen tentang kemahasiswaan, sebagaimana layaknya acara-acara kaderisasi sebuah organisasi mahasiswa kampus. Namun bedanya, idealnya acara ini diselenggarakan oleh sebuah instansi resmi kampus seperti BEM atau Himajur, dan sebagainya.
Saran untuk ke depan :
1. Perlu adanya perhatian khusus dari seluruh pemangku kebijakan yang berkenaan dengan pendidikan agar dapat memperhatikan pengenalan dan penanaman kearifan local kepada mahasiswa baru.
2. Sebagai bahan masukan kepada pemerintah terutama pada perancannagan kurikulum agar memeprbanyak porsi isi kurikulum dalam hal pemabangunan karakter, denagn melandaskan diri pada kebudayaan dan
nilai local yang terkandung didalamnya.
3. Program Kunjungan Budaya dan Kuliah Alam dapat digunakan sebagai alternatif pilihan sbagai ekstrakurikuler ataupun program pengisi yang bermanfaat.

“Pendekatan Profil Guru dan Pendekatan Budaya : Solusi Pembangunan Karakter Bangsa Indonesia Masa Kini dan Masa Depan”

Oleh :
Muhammad Basir Matondang (**)

Latar Belakang
Kita prihatin dengan berbagai konflik yang telah terjadi di beberapa daerah di tanah air. Pertahanan sosial masyarakat Indonesia seolah-olah gampang jebol oleh hal-hal sepele. Maka terjadilah berbagai penyimpangan-penyimpangan social yang mampu memberikan dampak negative terhadap keberlangsungan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini bertambah parah dengan merasuknya penyimpangan social tersebut ke dalam ranah pendidikan. Yang notabenenya pendidikan merupakan sector pemerintah yang konsen terhadap penggodokan, penempaan dan ranah penciptaan generasi penerus yang unggul.

Masih segar dalam ingatan kita berbagai pemberitaan di media massa maupun media elektronik, Tawuran antar pelajar, geng-geng motor, narkoba, dan lain sebagainya 90% melibatkan remaja, generasi penerus bangsa. Dari berbagai penyimpangan tersebut sudah banyak memakan korban jiwa. Bahkan seluruh instansi penegak hukum pun kalang kabut akibat dari tindakan-tindakan asocial tersebut. Padahal konon selama ini, masyarakat Indonesia tergolong aman, tenteram, harmoni dan memiliki daya tahan social yang cukup bagus. Tapi itulah yang terjadi sekarang.

Jika boleh berpendapat. Masalah keharmonisan sangat tergantung pada konstruksi. Boleh jadi, dulu masyarakat Indonesia suka terlibat dalam konflik, hanya tidak terpublikasi secara meluas seperti sekarang ini. Namun, jika di telaah lebih mendalam lagi, sesungguhnya tidak ada masyarakat yang benar-benar bebas akan konflik. Mindset masyarakat Indonesia terlalu lalai dengan mitos bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dan berperadaban tinggi. Lalu ketika terjadi konflik, hal ini dianggap tabu dan melanggar adat istiadat. Sehingga muncullah pemberitaan yang terkesan dilebih-lebihkan . Hal ini berlanjut sampai sekarang. Makanya, secara langsung maupun tidak langsung, konflik di Indonesia menyerang dua pihak yang memiliki peran penting dalam percaturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Yaitu pihak pelaku yang di dominasi oleh pelajar dan pihak media yang seharusnya memberikan keterangan yang sesungguhnya malah merontokkan konstruksi social masyarakat.

Karena itu, yang diperlukan sekarang adalah merekonstruksi kembali bangunan moral dan social masyarakat. Kita harusnya terbuka dengan berbagai instansi pemerintah dalam menjalankan tugas pokok dan fumgsinya terutama pihak kepolisian yang menjalankan tugasnya langsung berhadapan dengan masyarakat. Namun, lebih dari itu kita menghendaki ada strategi jangka panjang untuk merekonstruksi tatanan social dalam masyarakat Indonesia agar tercipta masyarakat yang dewasa, maju dan bermoral tinggi. Dan jawabannya hanya akan di dapatkan di dunia pendidikan.

Selayang Pandang Wajah Pendidikan di Indonesia.
Membicarakan pendidikan di Indonesia, agaknya tidak akan pernah selesai. Tujuan akhir dari pendidikan di Indonesia seperti di tutupi oleh kelamnya kabut permasalahan bangsa. Berbagai seminar, lokakarya, pelatihan bahkan undang-undang tentang pendidikan sudah sering dilakukan dan diperbuat oleh pemerintah Indonesia. Tapi hasilnya justru kadang-kadang membuat system pendidikan kita semakin tidak terarah. Apalagi pameo : ganti menteri, ganti kurikulum sepertinya masih terjadi. Dan itu dianggap tidak salah.

Belum lagi ancaman sekulerisasi pendidikan oleh berbagai kepentingan. 66 tahun Indonesia merdeka, pendidikan di Indonesia mengalami proses politisasi dan proses komersialisasi yang menyedihkan. Politisasi dilakukan oleh negara dengan cara melaksanakan berbagai kebijakan yang berubah-ubah yang bermaksud untuk menjinakkan daya kritis anak-anak generasi penerus bangsa. Proses seperti ini adalah proses alami yang mampu tereduksi ke ranah kognitif anak-anak yang menanamkan bahwa pendidikan hanyalah sebuah nama tanpa kebijakan dan program yang jelas. Sehingga mampu mempengaruhi pola piker dan tingkah laku anak dalam melakoni pendidikan itu sendiri. Proses doktrinisasi seperti ini paling tampak pada masa orde lama dan orde baru.

Lewat politisasi pula penyeragaman system dan kurikulum pendidikan dipaksakan. Dengan demikian upaya masyarakat yang “bosan” terhadap doktrin politis ini melahirkan pendidikan alternatif yang steril dari virus politisasi selalu dihambat atau malahan dilumpuhkan. Sebab dikhawatirkan, pendidikan alternatif akan menghasilkan generasi bangsa yang kritis, idealis dan mampu merumuskan segala permasalahan bangsa serta memecahkan masalah tersebut di luar jalur yang dikehendaki oleh negara.

Dalam proses sosiologi, 66 tahun pula kita mengenal apa yang disebut dengan proses komersialisasi dalam pendidikan di Indonesia. Hal ini berawal dari kegelisahan masyarakat. Masyarakat yang terus berubah dan berkembang pesat membutuhkan sumber daya manusia yang tidak sekedar berkapasitas sebagai tukang rendahan. Lebih dari itu, merekan membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Ternyata kebutuhan itu tidak di jawab oleh departemen dan lembaga-lembaga pendidikan yang seyogyanya sudah dikendalikan oleh negara.

Dengan demikian, masyarakat menempuh jalannya sendiri. Untuk pengembangan anak bangsa perlu berbagai fasilitas infrastruktur yang membutuhkan biaya mahal. Berbagai upaya dilakukan oleh masyarakat hingga akhirnya melahirkan berbagai pendidikan alternatif. Parahnya, system ini diadopsi oleh berbagai lembaga pendidikan yang dikendalikan oleh negara. Muncullah isu adanya kelas unggulan sekolah unggulan dan sebagainya. Tentunya kita tidak akan menyalahkan hal tersebut. Selama itu memberikan dampak positif dan mampu mendongkrak kualitas alumni-alumni pendidikan. Namun ada beberapa fenomena. Hal seperti ini dijadikan ladang oleh kaum kapitalis untuk meraup untung yang sebesar-besarnya. Sehingga muncullah kesan pendidikan mahal. Dan masyarakat hanya bisa melihat proses ini secara berkelanjutan tanpa mengevaluasi perjalanan pendidikan alternative tersebut. Dan babak baru dalam dunia pendidikan pun dimulai, komersialisasi pendidikan yang menjamur.

Guru : Actor of Character Building
Fantastik. Bermula dari sebuah isu sampai “booming” sebagai bahan pembicaraan semua ahli pendidikan di Indonesia. Pendidikan Karakter sepertinya menjadi secercah harapan di tengah ombak dan badai kompleksitas permasalah pendidikan Indonesia. Bermula dari kegelisahan yang bisa dirasakan oleh nurani setiap orang. Sepintar apapun seseorang ternyata tidak menjamin mulianya akhlak seseorang.

Di luar negeri, mereka memikirkan generasi penerus ke depan. Oleh karena itu, khususnya di pendidikan mereka menempa generasi penerus yang memiliki integritas moral yang tinggi, sopan santun dan berakhlak mulia. Bisa jadi hal ini tercapai karena dalam proses pendidikan, mereka melibatkan semua elit politik, presiden, public figure, lingkungan dan keluarga untuk turut mencontohkan kebaikan kepada mereka. Jadi seolah-olah semua perisitiwa yang terjadi di sekitar siswa menjadi bahan pembelajaran dan bahan renungan bagi siswa, bukan hanya pelengkap kurikulum semata.

Kita bandingkan dengan Indonesia. Indonesia tidak kekurangan orang-orang yang pintar untuk melahirkan gagasan mengangkat keterpurukan Indonesia. Namun kebanyakan orang yang pintar malah dilatih untuk menindas orang yang bodoh. Korupsi merajalela, jabatan system dinasti, dan komersialisasi merambah ke semua lini pemerintahan. Contoh kecilnya perekrutan personil atau PNS untuk setiap jenjang lembaga pemerintah seperti jualan tahu. Mau lulus sebagai PNS, berani bayar berapa?. Inilah salah satu bentuk komersialisasi.

Pendidikan karakter bisa diaplikasikan dengan bermacam-macam pendekatan. Diantaranya adalah pendekatan profil guru dan pendekatan budaya. Secara historis, berbagai momen kebangkitan di Indonesia di mulai oleh pergerakan kaum terdidik. Nama besar seperti Sutomo, Soekarno, Hatta dan Syahrir merupakan kaum terdidik yang kemudian memberikan kontribusi riil terhadap kebangkitan bangsa. Mereka adalah guru bangsa yang memiliki karakter yang luar biasa. Soekarno bahkan disegani oleh pemimpin negara lain di masanya.

Sekarang, dengan mencuatnya pendidikan karakter. Mau tidak mau, sosok guru menjadi tumpuan awal yang bermain sebagai aktor dalam pembangunan karakter itu sendiri. Masalahnya, bagaimana mungkin seorang guru atau bahkan seorang presiden sekalipun memainkan peran sebagai aktor pembangunan karakter sementara mereka sendiri tidak memiliki karakter yang mumpuni dalam melakoni proses pengkaderan tersebut.

Hal ini akan terjawab jika Guru memiliki kesadaran yang tinggi terhadap etik profesi guru. Merenungi kembali tupoksi-nya sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Dan yang terpenting adalah guru menyadari bahwa dia adalah insane yang terdidik dan terlatih untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertanggung jawab penuh terhadap moral anak bangsa di masa depan. Kesadaran merupakan hal awal yang harus dibangun oleh sosok guru.

Guru sebagai actor pembangunan karakter harus memiliki keteladanan yang baik bagi anak didiknya. Keteladanan ini bisa berbentuk pengayoman dan pemberian ilmu pengetahuan tanpa membedakan anak didik berdasarkan suku, agama dan ras. Di sisi lainnya adalah memberikan keteladanan untuk mematuhi peraturan sekolah, tutur sapa, dan sebagainya. Trik-trik keteladanan bisa dimulai dengan hal-hal yang sederhana seperti di atas.

Guru juga harus mampu mendesain berbagai program pembelajaran yang memiliki muatan-muatan positif terhadap perkembangan kognitif, afektif dan psikomotor anak didik. Salah satunya adalah dengan mengaktifkan berbagai kegiatan ekstra yang bisa jadi mengurangi kegiatan siswa “diluar” yang memiliki potensi negative terhadap perkembangan anak.

Pendekatan Budaya
Pendidikan karakter untuk membangun karakter bangsa khususnya generasi penerus sebenarnya bukan wacana yang baru. Hal ini sudah dilakoni oleh Soekarno pada zaman dahulu. Saat beliau menjabat sebagai presiden republic Indonesia, melalui kebijakannya beliau membangun sebuah stadion yang pada zamannya merupakan salah satu stadion dengan teknologi tinggi dan tergolong megah. Yah, Stadion Gelora Bung Karno merupakan contoh konkret pembangunan karakter bangsa melalui pendekatan budaya. Saat itu, pembangunan stadion tidak main tender seperti yang terjadi pada wisma atlet sekarang. Dahulunya, stadion tersebut di bangun melalui gotong royong seluruh masyarakat Indonesia. Budaya gotong royong inilah yang menjadikan stadion tersebut berdiri tegak. Bahkan saat itu merupakan salah satu stadion pali fenomenal di dunia.

Kemudian, Soekarno juga membangun sebuah bangunan yang bersejarah saat itu. Tugu Monumen Nasional yang sering kita kenal dengan nama Tugu Monas. Pembangunan tugu yang sekarang menjadi ikon ibu kota Jakarta ini dahulunya sempat mendapat kritikan dari berbagai kalangan, terutama kalangan mahasiswa. Karena saat itu, penempaan emas sebagai puncak tugu dianggap sebagai pemborosan. Namun, dampaknya bisa kita rasakan sekarang. Kota Jakarta, Ibu kota negara republic Indonesia terkenal dengan tugu Monas-nya. Dan bangsa lain mengacungkan jempol terhadap bangunan tersebut.

Seolah-olah Soekarno memiliki prediksi sempurna terhadap masa depan Bangsa dengan berbagai kebijakannya. Terbukti bahwa pendekatan budaya bisa menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat dan berkarakter di mata bangsa lain.

Yang terjadi sekarang ini adalah pertarungan budaya. Budaya global memiliki kekuatan yang teramat kuat. Ia menggilas tidak saja budaya local, tetapi juga melindas budaya nasional. Kekuatan budaya global tersebut didukung oleh kekuatan media komunikasi, baik itu televise, internet, Koran-koran dan majalah. Yang menjadi persoalan adalah budaya global merupakan ciptaan dari budaya barat yang notabene tidak sama dengan budaya bangsa Indonesia yang condong dengan budaya timur.

Karena adanya pertarungan budaya tersebut, disinilah momentum untuk menempa karakter anak didik dengan sadar akan kepemilikan atas budaya sendiri, jangan sampai hasil budaya bangsa Indonesia di klaim dan di rampas oleh bangsa lain. Secara alami, idealisme anak didik akan tumbuh sampai akhirnya mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku anak. Anak akan bangga dengan Indonesia, dan akhirnya mampu berkontribusi riil bagi bangsa dan negara serta masyarakat Indonesia. Tanpa sadar, maka tercapailah Indonesia yang yang aman, tentram, harmoni dan memiliki ketahanan social yang tinggi.

Penutup
Kemarin adalah sejarah. Hari esok adalah Misteri. Tetapi hari ini adalah anugerah. Setidaknya perkataan bijak ini tidak berlebihan menjelaskan tentang keberadaan bangsa dan negara kita. Apapun yang telah terjadi, jadikanlah itu sebagai pelajaran hidup, direnungi dan dievaluasi sebagai pegangan kita masa kini dan masa depan. Kita tidak bisa melihat arah pendidikan karakter di masa depan, tapi kita bisa melihat pendidikan karakter kemarin dan hari ini.
Diharapkan dengan hadirnya sosok guru, sosok pahlawan tanpa tanda jasa mampu memberikan pencerahan pendidikan dengan memainkan perannya sebagai aktor pembangunan karakter. Menghasilkan generasi-generasi unggulan dan siap bersaing di kancah era persaingan bebas. Penempaan prinsip, sopan santun, integrasi moral yang tinggi dan karakter yang kuat akan membimbing individu melahirkan idealism yang berdampak positif terhadap ketahanan social dan ketahanan nasional bangsa Indonesia.
Demikian pula dengan pendekatan budaya. Rasa kepemilikan akan budaya bangsa sendiri secara alami akan menumbuhkembangkan idealism yang kuat. Bagaimana kelanjutannya ? Waktu akan menjawab.