Selasa, 12 Juli 2011

Urgensi Kurikulum dan Pendidikan Kebudayaan di Indonesia

Urgensi Pendidikan dan Kurikulum Kebudayaan di Indonesia*
Oleh :
Muhammad Basir Matondang **

A. Latar Belakang
Di tengah guncangan badai globalisasi, masyarakat Indonesia dihadapkan pada sebuah ujian yang maha dahsyat dan multikompleks. Sehingga masyarakat Indonesia lebih disibukkan dengan masalah ekonomi, hukum, politik dan polemik-polemik sosial lainnya. Bahkan penyakit yang kini membudaya di kalangan para pejabat yang bernama Korupsi merupakan berita yang paling hangat dan santer di seluruh penjuru tanah air bahkan internasional. Tapi pendekatan yang dilakukan dalam menghadapai penyakit moral yang satu ini adalah pendekatan hukum. Hasilnya dapat kita lihat sendiri bahwa dengan jalan hukum saja, korupsi tidak bisa di tumpas.
Kalau di telaah lebih dalam lagi, ada sebuah hal yang mendasari terjadinya ujian multikompleks ini bukan hanya sebatas pengaruh globalisasi tetapi juga penyakit masing-masing individu masyarakat Indonesia. Yah, masyarakat Indonesia saat ini mengalami degradasi moral yang cukup signifikan bahkan memberi pengaruh yang sistemik terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan. Masalah moral bukanlah masalah hukum tetapi masalah moral yang menimpa bangsa Indonesia adalah masalah pendidikan dan kebudayaan. Kenyataannya, peranan pendidikan dan kebudayaan dikesampingkan disegala urusan, orang lebih mementingkan kebutuhan ekonomi, politik, hukum dan sosial.
Namun, optimalisasi pendidikan dan kebudayaan akan menjamin terbukanya solusi terhadap penyakit moral dan mendongkrak nilai-nilai etika dan estetika yang bermanfaat bagi keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, optimalisasi kebudayaan dan pendidikan di Indonesia adalah kerinduan bangsa Indonesia.

B. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Terinternalisasinya pengetahuan tentang kondisi kebudayaan Indonesia kepada generasi penerus bangsa khususnya mahasiswa.
2. Memberikan gambaran tentang sinergisitas antara kurikulum kebudayaan dan pengaruhnya terhadap pendidikan bagi generasi penerus bangsa.
3. Sebagai bahan perbandingan kebudayaan antar daerah di Indonesia.

C. Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah :
1. Timbulnya kesadaran generasi penerus bangsa khususnya mahasiswa untuk turut serta dalam menjaga, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan di Indonesia baik dalam konteks kedaerahan maupun konteks nasional, baik berupa benda budaya, aktifitas kebudayaan dan idealisme kebudayaan.
2. Timbulnya idealisme, khususnya mahasiswa sebagai kaum intelektual dalam mempertahankan kebudayaan Indonesia secara komprehensif terhadap gangguan, ancaman dan hambatan dari luar maupun dalam negeri.
3. Terwujudnya sinergisitas antara pendidikan sebagai wahana penempaan karakter generasi bangsa dan kebudayaan sebagai rangkuman nilai-nilai etika dan estetika bangsa.

D. Pembahasan
1. Pendidikan
Pendidikan menurut UU Sisdiknas 2003 Pasal 1 ayat 1 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Pendidikan adalah salah satu pilar terpenting untuk meningkatkan kualiats manusia, faktanya pilar tersebut digunakan untuk menghitung Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dari data Human Development Report 2007-2008, HDI Indonesia sebesar 0,728 dan berada di rangking 107 dari 177 negara yang disurvei oleh UNDP. Hal ini sangat memprihatinkan. Dengan bertambahnya secara kuantitatif seharusnya dunia pendidikan Indonesia mampu mendongkrak kualitatifnya di mata Internasional. Hal ini mengindikasikan ada yang salah dengan sistem pendidikan di Indonesia.
Kondisi ini menunjukkan adanya hubungan yang berarti antara penyelenggaraan pendidikan dengan kualitas pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang dihasilkan selama ini. Secara logika, seharusnya pendidikan mampu mewujudkan sumber daya manusia yang maju, unggul dan siap bersaing di pasar internasional terkait mutu dan kualitas yang siap pakai. Walau dengan berbagai program pendidikan yang terencana, tentu saja dengan hasil UNDP tadi, kita melihat ada hal yang kurang. Yaitu dalam hal penempaan karakter generasi penerus. Sehingga ketika aspek karakter diabaikan, terjadilah degradasi moral dalam penempaan generasi bangsa.

2. Kebudayaan
Secara sepintas, berbicara mengenai kebudayaan kita akan dihadapkan pada sebuah persepsi dasar mengenai benda-benda kuno. Seperti candi, makam, artefak, kerajaan, relief, dan sebagainya. Namun, persepsi yang di atas hanya sebagian kecil dari kebudayaan karena kenyataannya bahwa kebudayaan memiliki aspek yang sangat luas dan diimplementasikan pada setiap bidang baik itu sosial, ekonomi, hukum, politik dan sebagainya.
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat, yang dijadikan milik manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1986). Menurut Harrison dan Huntington (2000 ; 163) bahwa kebudayaan adalah ide komunitas tentang apa yang benar, baik, indah dan efesien. Lain lagi dengan pandangan Soekanto (1983), beliau berpendapat bahwa kebudayaan adalah hasil karya, rasa dan cipta manusia yang didasarkan pada karsa. (dalam Anshari, 2010 :2).
Yang terpenting dari kebudayaan adalah nilai-nilai etika dan estetika yang diimplementasikan ke segala bidang. Baik itu Politik, Sosial, Hukum, dan aspek lainnya. Jika kebudayaan Indonesia dijadikan sebagai wahana penempaan karakter bangsa, maka kemungkinan besar hadir sebuah solusi terhadap degradasi moral yang menghinggapi Indonesia saat ini. Untuk lebih memahamkan dalam rangka menyamakan persepsi kita akan melihat wujud kebudayaan itu sendiri.

3. Wujud Kebudayaan
Dari ketiga defenisi di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa secara nyata, kebudayaan terdiri dari tiga wujud yaitu ide/gagasan yang mencakup nilai dan norma, aktifitas berpola, dan benda fisik budaya/artefak.
• Ide / gagasan yang akan melahirkan idealisme ini adalah wujud kebudayaan yang abstrak tetapi dapat dirasakan oleh manusia. Ide/ gagasan mencakup pada nilai-nilai hidup dan norma-norma yang berlaku. Kalau kita melihat dalam konteks kekinian, wujud kebudayaan yang pertama inilah yang menjadi permasalahan bangsa Indonesia yang paling serius. Maka perlu peranan yang nyata antara penanganan kebudayaan dan pendidikan. Tentu saja dalam fungsinya dalam menanamkan karakter etika, estetika, norma dalam diri generasi penerus Indonesia. Ketika seseorang memiliki karakter yang kuat, maka akan timbul idealisme yang kuat. Karakter etika yang kuat akan membentuk idealism etika yang kuat juga.
• Aktifitas berpola ini adalah mencakup aktifitas yang dilakukan oleh manusia dalam kesehariannya. Misalnya dalam konteks agama, pada bulan Ramadhan ummat muslim wajib menunaikan ibadah puasa. Hal ini berlanjut dan berpola pada setiap bulan Ramadhan. Maka puasa adalah kewajiban yang membudaya di kalangan ummat muslim. Sama halnya dengan budaya Pesta Panen, hal ini dilakukan setiap sawah usai di panen maka diadakan pesta. Kegiatan ini berpola pada setiap usai memanen padi dan akhirnya menjadi kebudayaan.
• Benda fisik budaya adalah bentuk-bentuk kebudayaan yang tertuang dimensi ruang dan waktu. Mencakup artefak (benda-benda kuno), hal-hal yang bisa dipentaskan misalnya tari-tarian, hal-hal yang bisa di indera seperti lagu dan sebagainya. Khusus untuk benda fisik Indonesia tidak memiliki kekuatan secara formal melindungi, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan dalam wujud ketiga ini. Contohnya pada kasus yang menimpa Indonesia dengan pengklaiman hak milik atas asset kebudayaan Indonesia oleh Malaysia. Seperti yang terjadi pada Reog Ponorogo, Lagu Rasa Sayange, Tari Pendet. Di sisi lain, penemuan artefak-artefak kuno di pantai Cirebon yang akhirnya tidak disimpan di museum tetapi di jual dengan harga mancapai 500 juta. Dan yang terakhir adalah berita yang sangat menggemparkan yaitu pengklaiman hak milik oleh Belanda terhadap lagu-lagu Almarhum Gesang tepat dua minggu sebelum sang Maestro menghembuskan nafas terakhirnya di Solo.
Kondisi ini cukup memprihatinkan karena ternyata UU Benda Cagar Budaya yang sudah ada pada tahun 1992 tidak mampu melindungi asset budaya berbentuk fisik secara komprehensif. Oleh karena itu dengan adanya RUU Kebudayaan yang diterbitkan pada 2009 lalu dan diperkuat oleh substansi hadirnya isu mengenai kurikulum kebudayaan dalam fungsinya menempa karakteristik bangsa, dan ditambah dengan kesadaran seluruh bangsa Indonnesia, bisa saja kebudayaan akan semakin terjaga dan terkembangkan secara komprehensif di tiga wujudnya.
4. Kurikulum
Dari sudut pandang klasik, kita akan menemukan bahwa kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran / mata kuliah (untuk perguruan Tinggi) yang harus ditempuh oleh peserta didik untuk mencapai tingkat atau ijazah.
Tetapi sesuai dengan UU Sistem Pendidikan Nasional no. 20 tahun 2003, kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara-cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Kurikulum merupakan bagian penting dalam proses belajar mengajar, dengan adanya kurikulum maka optimalisasi antara proses belajar dan substansi yang ditawarkan akan mencappai sebuah kesatuan yang utuh dan memiliki tujuan yang sama.

5. Kurikulum Kebudayaan
Dalam rangka optimalisasi antara pendidikan dan kebudayaan, maka wacana yang mampu menjamin adanya luaran yang nyata adalah kurikulum kebudayaan. Kurikulum kebudayaan adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, bahan pelajaran serta cara-cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran kebudayaan. Tentunya kebudayaan di atas adalah kebudayaan yang melingkupi ketiga wujud kebudayaan yang ada sebagai penempaan karakteristik bangsa.
Sebenarnya ada beberapa daerah yang sudah menjalankan kurikulum kebudayaan di daerahnya tentunya demi mempertahankan kebudayaan daerahnya dan kearifan lokalnya, tetapi sungguh menyedihkan bahwa ternyata kurikulum kebudayaan hanya ada di beberapa daerah saja seperti di Sumatera Barat ada mata pelajara BAM (Budaya Adat Minangkabau). Mata pelajaran ini dipelajari mulai kelas 4 SD sampai kelas 3 SMP. Lain halnya dengan Surakarta. Setelah mengadakan diskusi dengan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemko Surakarta pada tanggal 19 Mei 2010 di Ruang Sidang kampus FSSR Universitas Sebelas Maret Surakarta, bahwa di Surakarta ada kurikulum kebudayaan yaitu pendidikan Karawitan. Tetapi itu akan disempurnakan dengan sebuah wacana baru yang baru dicanangkan oleh walikota yaitu kurikulum Budi Pekerti.
Hal ini akan membuahkan hasil yang baik apabila sistem ini dapat diadopsi oleh seluruh daerah di Indonesia khususnya Sumatera Utara.

6. Pendidikan dan Kebudayaan
Hubungan antara pendidikan dan kebudayaan digambarkan sebagai hubungan ontologism dan epistimologis. Dalam konteks semakin menguatnya dan timbulnya etnonasionalisme, maka hubungan antara pendidikan dan kebudayaan semakin menonjol. Sedangkan di dalam prakteknya, ada berbagai model pendidikan untuk kesadaran dan pengembangan kohesi sosial, yaitu pendidikan multicultural, pendidikan transkultural, dan pendidikan intercultural. Tujuan dari metode pendidikan ini adalah untuk pengembangan sikap toleransi dalam masyarakat.
Pendidikan inter-kulutural ditekankan kepada eksistensi budaya-budaya atau sub budaya yang ada. Dalam rangka pengembangan kohesi sosial maka yang diperlukan ialah kegiatan interaksi budaya. Bentuk yang lain ialah trans-kultural yang mencari bentuk-bentuk universalitas dari budaya-budaya yang ada. Model trans-kultural ini barangkali yang telah kita gunakan di dalam praksis pendidikan selama Orde Baru.
Bagi masyarakat Indonesia dalam rangka otonomi daerah, model yang tepat ialah pendidikan multi-kultural. Artinya masing-masing budaya etnis yang ada di dalam masyarakat mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk berkembang.
Pendidikan sebagai bagian konstitutif dari kebudayaan adalah sebuah proses yang membiasakan anak didik mengenal, mempelajari, menguasai, dan menerapkan nilai-nilai yang diakui berguna bagi dirinya, keluarganya, humanitas, bangsa dan negara. Persekolahan adalah bentuk institusional dari pendidikan yang secara resmi ditugasi untuk melakukan pendidikan melingkupi mengajarkan pengetahuan, mendidik sikap, keterampilan, seni dan norma-norma hidup yang berlaku.
Tetapi sangat disayangkan bahwa pendidikan Indonesia saat initidak berorientasi pada kebudayaan sendiri, artinya pendidikan di Indonesia tidak menopang adanya pewarisan budaya yang ada di Indonesia. Sehingga membuat mentalitas dan karakter anak didik menjadi asertif terhadap kebudayaan sendiri. Kenyataannya justru mereka terperangkap dalam kontak budaya dengan budaya asing yang belum tentu memiliki nilai yang baik untuk diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat Indonesia. Maka tidak heran jika nilai-nilai kebudayaan hilang dalam karakteristik bangsa Indonesia.
Sangat tepat sekali bahwa untuk penempaan karakter bangsa atau generasi penerus bangsa digunakan media nasional pendidikan. Yang harus dilakukan sekarang adalah mewujudkan pendidikan sebagai pengiring kebudayaan. Maka isu yang berkembang saat ini mengenai kurikulum kebudayaan adalah wacana yang tepat terkait dengan pendidikan kebudayaan.
Ketika kita berbicara mengenai pendidikan dan kebudayaan, maka kita dihadapkan pada dua substansi yang seharusnya berjalan seiring dalam mengiring kebudayaan Indonesia. Yaitu Pendidikan berbasis Kebudayaan dan Kebudayaan berbasis Pendidikan.
Kebudayaan berbasis pendidikan adalah salah satu substansi yang memberikan pendekatan nilai-nilai kebudayaan mencakup etika dan estetika pada semua mata pelajaran yang ada saat ini. Adanya nilai-nilai yang dituntut dalam sebuah kurikulum akan mampu menempa karakteristik siswa sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan. Esensi dari Pendidikan berbasis kebudayaan ini adalah optimalisasi ranah afektif dan psikomotorik dalam setiap mata pelajaran.
Dan Kebudayaan berbasis Pendidikan adalah salah satu substansi yang memberikan pandangan bahwa dalam rangka optimalisasi kebudayaan dan pendidikan perlu dicanangkannya mata pelajaran baru yaitu mata pelajaran yang bernuansa kebudayaan. Esensi dari substansi ini adalah lahirnya mata pelajaran baru.
Kita sebagai masyarakat Indonesia tidak akan mempermasalahkan kedua substansi yang lahir ini mana yang harus dipakai dan mana yang tidak dipakai. Tetapi kedua substansi ini berjalan beriring mengawali kebudayaan Indonesia yang hamper punah melalui dunia pendidikan. Dan akhirnya tersampaikannya nilai-nilai etika dan estetika pada generasi penerus bangsa dan lahir idealism dalam mempertahankan kebudayaan di Indonesia.

7. Kesimpulan
Melihat dalam konteks kekinian, kita tengah di hadapkan pada sebuah permasalahan yang multikompleks yang sebenarnya itu adalah masalah kebudayaan. Sungguh memprihatinkan bahwa kebudayaan Indonesia yang beraneka ragam kini seenaknya diklaim oleh bangsa lain bahwa itu milik mereka, sementara di sisi lain, masyarakat Indonesia tengah mengalami degradasi moral dan tidak memiliki idealisme dalam mempertahankan kebudayaan Indonesia sendiri.
Setelah di telaah lebih mendalam, kita sepakat bahwa UU Benda Cagar Budaya pada tahun 1992 tidak bisa melindungi kebudayaan secara komprehensif. Hingga pada tahun 2009, adanya RUU Kkebudayaan yang diharapkan bisa melindungi kebudayaan secara komprehensif. Di tambah dengan adanya pencanangan Kurikulum kebudayaan secara nasional.
Maka, dalam membangun sebuah persepsi yang sama. Pendidikan sebagai wahana penempaan karakter anak bangsa mencakup pengetahuan, keterampilan, seni dan norma perlu di optimalisasikan secara menyeluruh dengan melahirkan wacana pendidikan kebudayaan. Maka wujud nyata pendidikan kebudayaan sudah ada berupa kurikulum kebudayaan dan mencoba mensinergikan antara kebudayaan berbasis pendidikan dan pendidikan berbasis kebudayaan. Sehingga terciptanya pendidikan sebagai pengiring kebudayaan.



BAHAN BACAAN
Anshari, Khairil. 2010. Urgensi Kurikulum Kebudayaan dalam Penempaan Karakter Bangsa Indonesia. Medan:UNIMED.(unpublished)

Arifin, Zainal. 2004.Pendidikan Nasional sebagai Pengiring Kebudayaan Nasional. Makalah(unpublished)

Assegaf, Abdur Rahman, dkk.2007. Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Suka Press

Firman,Hendriko.2010.Kebudayaan dan Kurikulum Pendidikan Indonesia. Makalah Semnas(unpublished)

Joesoef, Daoed. 1982. Aspek-Aspek Kebudayaan yang Harus Dikuasai Guru, dalam Majalah Kebudayaan, no. 1 , tahun 1981/1982

Koentjaraningrat, 1986, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta, Aksara Baru.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.1983. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta:Pusbinbangsa

Swasono, Meutia F.H. (1974). Generasi Muda Minangkabau di Jakarta: Masalah Identitas Sukubangsa. Skripsi Sarjana. Jakarta: Fakultas Sastra UI
Swasono, Meutia F.H. 1975. Kebudayaan Nasional Indonesia : Penataan Pola Pikir. Makalah Sarjana. Jakarta : Fakultas Sastra UI.
Tilaar, H.A.R.2002.Perubahan Sosial dan Pendidikan.Jakarta: Grasindo
http://www.bcc.edu/NWCET/cdk/Overview/Standard.htm
http://74.125.155.132/search?q=cache:AdSU8pXlfKoJ:fikrieanas.wordpress.com/budaya-dan-pendidikan/+&cd=5&hl=id&ct=clnk&gl=id