Sabtu, 17 September 2011

Jenis-Jenis Strategi Pembelajaran Organisasi

Jenis-jenis Strategi Organisasi
Trianto (2007:94) membagi strategi organisasi menjadi tiga jenis. Yaitu Outlining, Pemetaan Konsep (Concept Mapping) dan Mnemonics. Untuk lebih jelas akan dipaparkan satu persatu sebagai berikut.
a. Outlining
Dalam Outlining atau membuat kerangka garis besar, siswa belajar menghubungkan berbagai macam topik atau ide dengan beberapa ide utama. Dalam proses pembuatannya, jenis hubungan yang akan dibangun adalah satu topik kedudukannya lebih rendah terhadap topik lain. Misalnya yang terdapat dalam sebuah daftar isi buku, atau list proses yang berjalan tahap demi tahap.
b. Pemetaan Konsep (Concept Mapping)
Dalam Ninik Sri Widayati (Copyright © 2011 Scribd Inc.), pemetaan konsep dilakukan dengan membuat suatu sajian visual atau diagram tentang ide-ide penting suatu topik tertentu. Artinya pemetaan konsep menyajikan bahan-bahan pelajaran khususnya ide-ide kunci melalui struktur yang baru dan mudah dimengerti oleh siswa. Beberapa hal lebih efektif dibandingkan dengan outlining.
c. Mnemonics
Menmonics merupakan metode untuk membantu menata informasi yang menjangkau ingatan dalam pola-pola yang dikenal, sehingga lebih mudah dicocokkan dengan pola skemata dalam memori jangkan panjang. Mnemonics terdiri atas 2 teknik yaitu teknik Chunking (pemotongan) misalnya untuk mengenal no Hp lebih mudah 081385764411 diadakan pemotongan 0813-8576-4411 dan Akronim (singkatan). Misalnya ABRI singkatan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Rabu, 07 September 2011

KONVENSI SASTRA (TAMBAHAN)

Ada tiga konvensi sastra lagi yang harus kita ketahui dan pahami agar dapat menginterpretasi atau memberi makna karya sastra. Tiga hal itu adalah kerangka kesejarahan: hubungan intertekstual, jenis sastra, dan aliran sastra. Maksud ketiga konvensi tersebut dijelaskan secara singkat berikut ini.

A. Kerangka Kesejarahan: Hubungan Intertekstual
Selain tiga konvensi di atas dibutuhkan untuk memahami karya sastra, ada satu hal lagi yang harus diperhatikan, yaitu kerangka kesejarahan: hubungan antartekstual, yakni hubungan satu karya sastra dengan karya sastra yang yang lain. Hubungan tersebut adalah hubungan suatu karya sastra yang sedang dipahami dengan karya atau teks yang dicipta sebelumnya pada periode sebelumnya maupun dengan karya atau teks sastra yang sezaman.
Dalam kaitannya dengan usaha memberi makna sebuah karya sastra dengan jalan menyejajarkannya dengan karya sastra sebelumnya yang menunjukkan adanya perta¬lian, adalah apa yang disebut dengan hubungan intertekstual, yaitu hubungan antarteks.
Dasar intertekstualitas adalah prinsip persamaan (vraisdmhahle ) teks yang satu dengan teks yang lain sebagai dikemukakan Culler (1977:139). Ia mengemukakan pendapat Julia Kristeva bahwa setiap teks itu merupakan penyerapan dan transformasi teks-teks lain, setiap teks itu merupakan mosaik kutipan-kutipan dari teks lain. Hubungan ini dapat berupa persamaan atau pertentangan (Cf. Teeuw, 1983:65). Dikeniu, ialah Riffaterre (1978:11, 23) bahwa sajak -(tieFs-) yang menjadi latar penciptaan sebuah karya sastra (teks) yang lain itu disebut hipogram. Karya sastra yang menjadi hipogram diserap dan ditransformasikan ke dalam teks sastra sesudahnya yang menunjukkan adanya persamaan itu. Dengan menjajarkan sebuah teks dengan teks yang menjadi hipogramnya, maka makna teks tersebut menjadi jelas, baik teks itu mengikuti atau menentang hipogramnya. Begitu juga, situasi yang dilukiskan menjadi lebih terang hingga dapat diberikan makna sepenuhnya.”
Sebagai sebuah contoh dapatlah dikemukakan sajak Chairil Anwar yang berjudul “Penerimaan” (1959:36) yang menyerap dan mentransformasikan sajak Amir Hamzah yang berjudul´”Kusangka” (1959:19).
Dalam perkembangan sejarah berbagai tema silih berganti digemari. Dalam sastra Indonesia terdapat beberapa tema yang selalu hadir, ada juga yang kadang-kadang muncul. Kadang-kadang kita menyaksikan semacam mode. Misalnya, pada tahun 20-an roman yang ditulis banyak yang berte¬makan putus cinta antara dua remaja. Namun, gejala ini belum memberikan cukup alasan untuk berbicara jenis roman yang bertemakan tentang putus cinta. Karena pada masa-masa berikutnya tema ini tergeser oleh kehadiran tema-tema lain yang cukup bervariasi. Pembagian-pembagian tematik mustahil disusun secara deduksi. Ada beberapa alasannya, (i) karena pada da¬sarnya dapat dibayangkan seribu satu tema, (ii.) penyebaran sebuah tema terikat akan tempat dan waktu, (iii) tema-tema itu sering tumpang tindih, dan (iv) pembagian ini tidak dapat dihubungkan dengan pembagian ahistorik menurut situasi bahasa seperti telah diuraikan di atas.


B. Jenis Sastra
Sebelum kita tetapkan tentang pengertian genre beserta cakupannya. Rene Wellek & Austin Warren mengatakan bahwa “Teori genre adalah suatu prinsip keteraturan: sastra dan sejarah sastra diklasifika sikan tidak berdasarkan waktu atau tempat (periode atau pembagian sastra nasional), tetapi berdasarkan tipe struktur atau susunan sastra tertentu” ( 1989:299). Pada bagian ini yang akan dibicara¬kan adalah genre sastra sebagai suatu karya sastra. Dari definisi di atas dapat disimpul.kan bahwa karya-karya sastra yang ada diklasifikasikan ke dalam suatu kelas atau kelompok berdasarkan struktur atau susunan sastra tersebut.
Berkenaan dengan klasifikasi atau pembagian sastra telah begitu banyak kita kenal. Pembagian itu dimulai dari pembagian secara garis besar atau secara umum sampai kepada pembagian berdasarkan ciri-ciri khusus suatu karya sastra. Dari pembagian yang sudah ada kita mengenal bentuk sastra puisi, fiksi, dan drama. Seorang kri.tikus abad ke-18, Thomas Hankins membagi drama Inggris ke dalam beberapa species, yakni misteri, moraliti, tragedi, dan komedi. Pada abad ke-18, prosa dianggap terdiri dari dua species, yaitu novel dan romansa(Well.ek & Warren,1989).
Dalam kesusastraan Indonesia ke dalam jenis prosa tercakup cerita pendek (cerpen), novel dan roman. Novel. menurut sudut pandang dan terra yang digarap dibedakan atas novel kedaerahan, novel psikolo¬gi, novel sosial, novel gotik, novel sejarah, novel detektif, dan novel biografi ( Eddy,1991).
Pembagian manakah di antara pemba¬gian-pembagian di atas yang disebut sebagai genre? Pembagian sastra atas bentuk puisi fiksi, dan drama disebut dengan “pembagian pokok”. Prosa fiksi yang terdiri dari tiga species; cerpen, novel, dan roman inilah yang disebut sebagai “genre” (Sedangkan, pembedaan novel atas novel kedaerahan, novel psikolo¬gi) kita tetapkan tentang pengertian genre beserta cakupannya.
Rene Wellek dan Austin Warren mengatakan bahwa “Teori genre adalah suatu prinsip keteraturan: sastra dan sejarah sastra diklasifika– sikan tidak berdasarkan waktu atau tempat (periode atau pembagian sastra nasional), tetapi berdasarkan tipe struktur atau susunan sastra tertentu” ( 1989:299). Pada bagian ini yang akan dibicara¬kan adalah genre sastra sebagai suatu karya sastra. Dari definisi di atas dapat disimpul.kan bahwa karya-karya sastra yang ada diklasifikasikan ke dalam suatu kelas atau kelompok berdasarkan struktur atau susunan sastra tersebut.
Pembagian karya sastra yang lain, dilakukan dengan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu. Pembagian ini pun banyak versinya, dan masing-masing pembagian dilakukan atas kriteria¬kriteria yang bervariasi pula.
Aristoteles menerapkan tiga kriteria atas sastra Yunani klasik. Namun, satu hal yang menari.k bahwa teori itu juga cocok untuk sastra lain- Penggolongan karya sastra atas tiga kriteria itu adalah sebagai berikut.
a. “media of representation” (sarana perwujudannya); 1.prosa; 2.puisi: a.karya hanya memanfaatkan satu matra (metrum) saja (misalnya epik,contoh Indonesia:syair)
b. karya memanfaatkan lebih dari satu matra (misalnya tragedi, kakawin); dalam pembagian ini pada prinsipnya tidak dibeda¬kan antara sastra dan bukan sastra!)
c. “objects of representation” (objek perwujudan)-. yang menjadi objek pads prinsipnya selalu manusia, tetapi ada tiger kemungkinan, l) manusia rekaan lebih agung dari manusia nyata:tra¬gedi,epik Homerus; cerita Panji; 2) manusia rekaan lebih hina dari manusia nyata: komedi;lenong; 3) manusia rekaan sama dengan manusia nyata:Cleophon (seandainya roman pads waktu itu sudah ada pastilah roman digolongkan Aristoteles dalam katagori ini!). Dalam pembagian ini pada prinsipnya tidak dibeda¬kan antara sastra dan bukan sastra!) misalnya sebuah monolog panjang atau sebuah teks didaktik.
Dalam teori-teori mengenai jenis-jenis sastra sejak da¬hulu memang dikaitkan situasi bahasa dengan tematik.Demikian pada abad ke-18 terjadi pembagian klasik antara lirik, epik, dan dramatik tiga jenis sastra itu dikaitkan dengan tema. Dalam lirik pengung¬kapan perasaan pribadi dipandang sebagai tema terpen¬ting. Dalam drama perbuatan yang memuncak dalam sebuah konflik dianggap pokok, sedangkan dalam epik perbuatan dahsyat seorang leluhur yang menentukan nasib bangsa keturunannya.
Pembagian di atas masih diperbincangkan. Namun, sampai pertengahan abad ke-20 ini masih juga diadakan usaha untuk memberlakukan jenis sastra secara tematik sebagai suatu patokan universal. Pembagian karya sastra berdasarkan gaya sepanjang sejarah sastra memang ada. Pembagian global sastra atas puisi dan prosa sebetulnya bersifat stilistik.Dalam pandangan ini puisi dianggap teratur menurut irama. Pengaruh anggapan ini terhadap sejarah sastra memang besar. Namun, dewasa ini ciri-ciri yang dianggap khas bagi puisi dan prosa tidak universal dan abadi.
Pembagian lain seperti, gaya tinggi yang dianggap cocok dengan seorang ningrat sedangankan gaya rendah cocok untuk seorang petani- Dalam teori klasik, gaya tinggi dihubungkan dengan pentas tragedi, sedangkan gaya rendah dengan komedi.
B.1. Jenis Sastra berdasarkan Pragmatik
Katagori akibat pragmatik adalah katagori berdasarkan tujuan dan akibat sebuah karya sastra. Ada teks-teks yang ingin mengajarkan sesuatu, yang meyakinkan, yang bersifat humor, mengharukan, dan yang memberi informa¬si. Pembagian serupa ini ada persoalan. Kita tak dapat memberikan kaidah-kaidah yang berlaku umum, tujuan dan akibat tidak selalu sama, alasannya : (i) akibat dan pengaruh terhadap pembaca berubah dari zaman kezaman, (ii) maksud pengarang dapat disalahartikan, dan (iii) fungsi-fungsi pragmatik tidak mudah dikaitkan dengan sekelompok teks tertentu. Pembagian jenis-jenis sastra menurut dampaknya harus memenuhi dua syarat, yaitu (i) harus dibedakan antara efek primer, atau efek dominan, dan efek camping dan (ii) pembagian harus terikat pads suatu periode sejarah tertentu.

B.2. Jenis Sastra Berdasarkan Bentuk Material atau Lahiriah
Katagori ini berdasarkan bentuk lahiriah teks yang diterbi.tkan. Sebuah cerita mengisi seluruh permukaan halaman, sedangkan dalam teks drama kita berjumpa dengan banyak bi.dang putih, khusus bila pembicaranya berganti, Hama pelaku dicetak sedemikian rupa. Dalam puisi pun halaman tidak diisi sepenuhnya, bait-bait terpisah oleh bidang putih dan kadang perwujudan lahir¬iah memperlihatkan variasi-variasi lain pula.
Kategori sastra yang lainnya, yakni berdasarkan tujuh kri¬teria.
Kriteria itu adalah : (i.) isi, (ii) media, (iii) aliran, (iv) nilai literer, (v) zaman, (vi) asal, dan (vii) ciri khan kebahasaan. Maksud masing-masing kriteria di atas dapat dijelas¬kan sebagai berikut.
Berdasarkan isi, yakni berdasarkan tema yang dibahas. Berda¬sarkan tema kita mengenal sastra sejarah, sastra sufisik, sastra didaktik, dan sebagainya. Media maksudnya same dengan kriteria sarana perwujudan yang dikemukakan oleh Aristoteles di atas. Pada prose kita mengenal cerpen, novel, dan novellet. Aliran kesusastraan yang dianut oleh pengarang akan melahirkan jenis-jenis sastra terrtentu. Berdasarkan aliran kesusas¬traan yang ada kita mengenal sastra ekspresionistis, sastra impresionistis, sastra simbolis, sastra didaktis, dan sebagainya.
Kriteria ni.lain literer, yakni pembagian sastra berdasarkan bobot kesastraan atau kadar literer yang dikandung oleh sebuah karya sastra. Berdasarkan kriteria ini, dapat disebut novel popular, novel picisan, dan novel yang berbobot sastra.
Berdasarkan zaman, berarti mengelompokkan karya sastra yang ada berdasarkan zaman karya sastra itu diciptakan.Dalam sastra Indonesia dikenal puisi lama, puisi baru, puisi modern, dan puisi kontemporer.
Berdasarkan asal, berarti memperhatikan pada tempat asal karya sastra tersebut, dalam hal ini merujuk kepada negara. Secara umum, dalam sastra Indonesia ada sastra asing dan ada sastra daerah. Selain itu juga dikenal sastra Arab, sastra sastra lisan untuk penggolongan ini adalah bahasa yang digunakan pengar¬ang atau stilistikanya. Sastra yang termasuk ke dalam kriteria ini seperti puisi mantra, puisi mbeling, dan s Inggris, dan sebagainya.
Terakhir kriteria ciri khas kebahasaan. Demikianlah pembicaraan tentang genre sastra dan katagorisa¬si sastra. Keberadaan kedua teori ini dalam kesusastraan sampai seat ini tetap dibutuhkan. Namun, dalam pemakaiannya masih diper¬lukan peninjauan lebih lanjut, terutama terhadap penyesuaiannya dengan tempat dan masa karya sastra yang akan dikelompokkan.

SISTEM SASTRA, KONVENSI BAHASA DAN KONVENSI SASTRA

SISTEM SASTRA, KONVENSI BAHASA DAN KONVENSI SASTRA
A. Pendahuluan
Menurut Pratt Sinter untuk berhasil membaca karya sastra , memahami, dan menafsirkannya orang harus siap mental dan tahu tentang konvensi yang dimiliki karya sastra. Konvensi adalah aturan sosial, sesuatu yang disetujui/disepakati masyarakat. Diantara konvensi-konvensi di bidang sastra yang harus diketahui adalah sistem sastra. Sistem sastra merupakan asas, prinsip, dan norma-norma sastra yang sudah tersusun secara teratur yang harus disepakati. Walaupun karya sastra merupakan satu bangunan atau struktur yang berisi berbagai macam ilmu pengetahuan, secara universal tidak mungkin lepas sepenuhnya dari sistem sastra yang ada. Pada sisi lain, sistem sastra sifatnya longgar. Hal ini disebabkan karya sastra merupakan karya individual.
Adapun sistem sastra yang patut diketahui agar dapat melakukan penafsiran dalam rangka memproduksi makna menurut Fananie ( 2000: 23 – 62 adalah: konvensi bahasa, konvensi sastra, dan aliran sastra. Selain tiga hal itu, Teeuw ( 1984:95-119) menambahkan konvensi budaya, jenis sastra /genre, dan teks sastra sebagai sistem sastra. Sejalan dengan Teeuw dan Fananie di atas, Pradopo ( 2002: 47-63) menambahkan kerangka kesejarahan: hubungan intertekstual sebagai salah satu sistem sastra yang perlu mendapat perhatian apabila akan menafsirkan karya sastra dengan kerangka semiotik., Keseluruhan sistem sastra itu sebagaimana diuraikan berikut ini.

B. Konvensi Bahasa
Karya sastra adalah karya seni yang mediumnya sudah bersifat tanda yang mem¬punyai arti, yaitu bahasa. Tanda kebahasaan itu adalah bunyi yang dipergunakan sebagai simbol, yaitu tanda yang hubungannya dengan artinya itu bersifat arbitrer atau semau¬maunya. Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi masyarakatnya. Para pemakai bahasa tunduk kepada sistem konvensi bahasa itu, seperti konvensi tata bahasa dan konvensi¬. Artinya, para sastrawan sebagai pemakai bahasa untuk karya sastranya tunduk kepada sistem konvensi bahasa yang dipergunakannya ( Teeuw, 1984:96). Jadi, bahasa da¬lam karya sastra sesuai dengan sistem konvensi bahasa yang dipergunakan. Hal ini disebabkan, seperti dikemukakan Teeuw (1984:96),
Bahasa sebagai sistem tanda me¬nyediakan perlengkapan konseptual bagi dasar pemahaman dunia nyata dan sekaligus merupakan dasar komunikasi antaranggota masyarakatnya. Oleh karena itu, pembaca karya sastra dalam memproduksi makna juga tunduk kepada sistem bahasa yang caper digunakan pertama kali,pembaca atau kritikus dalam memproduksi makna kata-kata, trase, atau kalimat dalam sastra itu harus memperhatikan sistem bahasa yang di¬pergunakan itu. Dengan demikian, ia akan mendapatkan ketepatan arti teks sastra tersebut.
Seringkali sastrawan mempergunakan bahasa yang tampaknya menyimpang dari penggunaan bahasa yang umum. Akan tetapi, sesungguhnya sastrawan dalam memper-gunakan bahasa itu masih dalam ruang lingkup konvensi bahasa yang dipergunakan. Bila tidak demikian, bahasanya tidak komunikatif, berarti makna karya sastranya tidak dapat diproduksi berdasarkan sistem konvensi bahasa yang dipergunakan. Dalam arti, ia tetap tidak menyimpang sama sekali dari sistem konvensi bahasa yang dipergunakan. Hal ini seperti dikemukakan Teeuw (1984:97) bahwa sistem kemaknaan sebuah bahasa cukup lincah, luwes, dan longgar sehingga memberikan segala kemungkinan kepada sastrawan untuk secara dan orisinal memanfaatkannya

C. Konvensi Sastra
Di samping tunduk kepada konvensi bahasanya, sastrawan juga terikat oleh konvensi sastra yang dipergunakan. Dengan adanya sistem konvensi sastra di samping konvensi bahasa, maka ada konvensi tambahan (Preminger, 1974:980, 981), yaitu konvensi tambahan kepada konvensi bahasa. Dengan demikian, konvensi bahasa ini ditingkatkan kepada konvensi yang lebih tinggi kedudukannya, yaitu konvensi sastra. Di sini arti (meaning) ditingkatkan kepada makna (significance). Pertentangan antara arti dan makna merupakan prinsip semiotik sastra yang terpenting (Riffaterre via Teeuw, 1984:99).
Dengan begitu, dalam memproduksi makna di samping harus memperhatikan system konvensi bahasa yang dipergunakan, pembaca juga harus memperhatikan sistem konvensi sastra.Jadi, arti bahasa (meaning) dalam karya sastra tidak semata-mata sama-dengan sistem bahasa, tetapi mendapat arti tambahan yang merupakan makna sastra (significance) berdasarkan tempat dan fungsinya dalam struk¬tur sastranya; maknanya ditentukan fungsinya dalam struktur.
Meskipun demikian, sastrawan pun belum tentu memenuhi konvensi-konvensi sastra itu seratus persen. Hal ini disebabkan oleh prinsip kreativitas sastra dan hakikat sastra itu sendiri, yaitu selalu dalam ketegangan antara konvensi dengan penemuan (invensi, inovasi) (Teeuw,1984:101,102); Karena itu, sastra selalu berada dalam ketegangan antara aturan dan kebebasan, mimesis dan tiruan dan ciptaan, antara Horatius (dengan art poeticanya yang normatif) dan Longinus (dengan pengagungan daya kreatif), antara technique dan talent, limit dan license, antara convention dan invention. (Levin, 1950: 65). Karya sastra itu di satu pihak terikat kepada konvensi, tetapi di lain pihak, juga ada kelonggaran dan kebebasan dalam mempermainkan konvensi tersebut. Penyimpangan itu biasa disebut defamiliarisasi atau deotomasisasi (Teuuw dalam Pradopo 2002:48).
Penyimpangan konvensi tersebut memang sangat dirasakan apabila pembaca mempunyai latar belakang pada konvensi yang sudah ada. Karenanya penyimpangan konvensi seperti dikatakan Teeuw, baru dan hanya mungkin efektif atas dasar adanya kon vensi yang disimpangi (Teuuw,1984:102). Dengan kata lain, penyimpangan tersebut akan memberikan satu makna apabila mampu memberikan sesuatu berdasarkan tatanan yang ditimbulkan. Walaupun pengarang sastra modern banyak melakukan penyimpangan dari konvensi yang telah ada, kenyataannya mereka tidak dapat melepaskan diri secara total akan konvensi sastra. Adapun bentuk dan perwujudan karya sastra mereka, konvensi sastra selalu tercermin di dalamnya.
Secara general konvensi sastra dapat dilihat melalui penanda-penanda yang terdapat pada karya sastra. Menurut Fananie (2000:44-46) ada sembilan penanda konvensi sastra itu. Singkatnya adalah sebagai berikut:
1) Bahasa yang dipakai selalu bersifat estetis, puitis, menyentuh rasa dengan pendar keindahannya.
2) Karya sastra bersifat imajinatif/ fiktif, yaitu suatu cerita rekaan yang berangkat dari daya khayal kreatif.
3) Bahasa sastra bersifat konotatif dan multiinterpretable.
4) Bahasa sastra bersifat simbolis, asosiatif, sugestif, dan konotatif.
5) Bahasa sastra bersifat sublime dan etis.
6) Karya sastra tertentu merupakan suatu katarsis, yaitu suatu upaya bersih diri dari lengketan debu-debu dan lepotan lumpur dan kehidupan dunia.
7) Tokoh-tokoh dalam novel, roman, repertoar, scenario, balada, dilukiskan dalam karakter, pribadi, dan pencandraan diri yang kuat dan meyakinkan.
8) Setting, dilukiskan dengan cermat dan hidup, sedang plotnya begitu memikat.
9) Puisi-puisi konvensional ditata dalam larik-larik dan bait-bait yang didalamnya terdapat aliterasi, asonansi, irama, persajakan, enjambemen, korespondensi, dan nuansa puitik
Konvensi-konvensi sastra yang bersifat general tersebut secara rinci dapat digolongkan menjadin tiga kategori yang masing-masing katagori mempunyai spesifikasi tersendiri. Kategori tersebut meliputi:

A. Puisi
Konvensi dan spesifikasi yang terdapat dalam puisi dapat meliputi:
a. Struktur fisik, yang terdiri dari:
1) Diksi
2) Pengimajian
3) Kata konkrit
4) Bahasa figurative
5) Versifikasi ( rima, ritme, metrum)
6) Tipografi

b. Struktur batin, yang meliputi:
1) Tema
2) Perasaan (felling)
3) Nada dan suasana
4) Amanat


B.Prosa
Berbeda dengan puisi, unsur konvensi dalam prosa dapat meliputi:
1) Tema dan subtema
2) Amanat
3) Penokohan
4) Plot
5) Pusat pengisahan
6) Gaya bahasa

C.Drama
1) Konflik manusia sebagai dasar dari lakon
2) Naskah drama dan strukturnya:
i) Plot atau kerangka cerita
ii) Penokohan dan perwatakan
iii) Dialog ( Percakapan)
iv) Setting/ Landasan / tempat kejadian
v) Tema / Nada dasar cerita
vi) Amanat / pesan pengarang
vii) Petunjuk teknis
viii) Drama sebagai interpretasi kehidupan
( Waluyo, 2006:4-32)

Senin, 05 September 2011

PUISI, PROSA dan DRAMA serta JENIS-JENISNYA

Pengertian Puisi
Karya sastra terdiri atas 2 jenis, yaitu prosa dan puisi. Biasanya prosa disebut karangan bebas, sedangkan puisi disebut karangan terikat. Akan tetapi, pada waktu sekarang, para penyair berusaha melepaskan diri dari aturan yang ketat itu hingga terciptalah sajak bebas.
Dalam sastra Indonesia ada 2 istilah puisi dan sajak. Puisi dalam bahasa Inggris poetry dan sajak dalam bahasa Inggris poem. Puisi adalah jenis sastra, sedangkan sajak adalah individu puisi. Oleh karena itu, kedua istilah itu jangan dicampuradukkan pemakaiannya.
Korespondensi dan periodisitas merupakan bentuk formal sebuah puisi. Bahkan puisi Pujangga Baru masih ada yang terikat pada korespondensi dan periodisitas.
Puisi baru (modern) menyimpangi pengertian puisi menurut pandangan lama. Puisi baru tidak terikat oleh bentuk-bentuk formal, korespondensi, dan periodisitas itu. Oleh karena itu, puisi baru (modern) disebut puisi bebas atau sajak bebas.
Bentuk-bentuk formal puisi lama sesungguhnya merupakan sarana-sarana kepuitisan untuk membuat puisi menjadi indah. Bentuk-bentuk formal itu masih juga dipergunakan oleh puisi modern, tetapi bukan merupakan ikatan, bukan merupakan pola yang tetap.
Puisi baru sesungguhnya terikat juga, tetapi terikat oleh hakikatnya sendiri, bukan terikat oleh pola-pola bentuk formal. Pola-pola bentuk formal bukan merupakan hakikat puisi.
Jenis–jenis Puisi Indonesia Lama
Puisi lama ada bermacam-macam jenis. Akan tetapi, yang paling dominan adalah pantun dan syair.
Aturan-aturan puisi lama sangat ketat. Aturan mengenai jumlah baris dalam setiap bait, jumlah kata dalam tiap baris, jumlah kata dalam setiap larik, terutama pola sajak akhir harus ditaati benar-benar. Pantun adalah puisi lama yang terdiri atas empat baris dalam satu bait, dua baris pertama merupakan sampiran dan dua baris berikutnya merupakan isi.
Syair merupakan sajak epis yang bercerita maka terdiri dari rangkaian bait yang membentuk cerita. Syair terdiri atas empat baris dalam satu bait dan bersajak akhir a-a-a-a.
Muatan puisi lama sesuai dengan jiwa masyarakat lama. Di antaranya berupa keyakinan, nasihat, teka-teki, kejenakaan, adat, dan hikayat.

Kegiatan Belajar 2
Jenis–jenis Puisi Indonesia Baru
Puisi baru atau puisi modern ada bermacam-macam jenis. Tiap periode atau angkatan mempunyai jenisnya sendiri. Puisi Angkatan Pujangga Baru berupa puisi baru yang bermacam-macam bentuknya. Puisi baru merupakan usaha kreativitas para penyairnya untuk menciptakan bentuk-bentuk baru yang dinamis untuk menyimpangi bentuk dan sifat puisi lama. Penyair Pujangga Baru masih ada yang menulis pantun juga, tetapi dengan perubahan bentuk. Di samping itu, Pujangga Baru menggemari sonata yang berasal dari Barat.
Puisi Angkatan 45 merupakan respons terhadap puisi Angkatan Pujangga Baru. Terutama berupa penyimpangan terhadap aturan-aturan perpuisian yang masih sangat terikat pola-pola tertentu. Oleh karena sajak Angkatan 45 membebaskan diri dari pola-pola dan aturan-aturan tertentu maka puisinya disebut puisi bebas.
1970Puisi periode 1955 masih meneruskan juga puisi liris Angkatan 45, tetapi pada periode itu muncul puisi balada. Balada ini digemari oleh para penyair muda pada waktu itu. Puisi balada ini berasal dari Barat (Inggris). Penyair yang pertama kali mempergunakan balada adalah W.S. Rendra.
Pada periode 1990 timbul puisi (bergaya) mantera yang dipelopori oleh Sutardji1970 Calzoum Bachri. Puisi mantera ini untuk menguasai dunia gaib, untuk konsentrasi, dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Akan tetapi, ada juga untuk menuliskan bahan dan masalah-masalah lain.


DAFTAR PUSTAKA
Alisyahbana, S. Takdir. (1996). Puisi lama. Jakarta: Dian Rakyat.

Andangdjaya, Hartoyo. (1973). Buku Puisi. Jakarta: Pustaka Jaya.

Anwar, Chairil. (1959). Deru Campur Debu. Jakarta: Yayasan Pembangunan.

Efendi, Rustam. (1953). Percikan Permenungan. Jakarta: FASCO.

Hamzah, Amir. (1959). Buah Rindu. Jakarta: Pustaka Rakyat

Herfanda, Ahmadun Yusi. (1996). Sembahyang Rumputan. Yogyakarta: Bentang.

Maulana, Sofi Farid. (1984). Bunga Kecubung. Tasik Malaya: Gotong Royong Sastra.

Liaw Yoek Fang. (1978). Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Singapura: Pustaka Nasional.

Pane, Sanusi. (1957). Madah Kelana. Jakarta: Balai Pustaka.

Rendra, W.S. (1972). Sajak-sajak Sepatu Tua. Jakarta: Pustaka Jaya.

Soejarwo. (1993). Bunga-bunga Puisi dan Taman Sastra Kita. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Puisi Anak-anak, Remaja, dan Dewasa
Puisi atau karya sastra pada umumnya berisikan ide-ide yang datang dari pemikiran-pemikiran tentang kehidupan dengan tujuan mengingatkan, menyadarkan setiap orang (penyair dan pembaca) akan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan itu sendiri. Intinya karya sastra mengandung norma-norma kehidupan yang seharusnya dijalani oleh setiap orang.
Ditinjau dari kelompok usia, puisi atau karya sastra dapat dikelompokkan menjadi puisi anak-anak, puisi remaja, dan puisi dewasa. Pengelompokan ini didasari atas adanya perbedaan dalam isi dan gaya ekspresinya.
Puisi anak-anak pada umumnya memiliki ciri (1) masalah sesuai dengan dunia dan pola pikir anak-anak, seperti sekolah, pemujaan terhadap guru dan orang tua, (2) ekspresi cenderung langsung, (3) bahasa denotatif, (4) singkat, (5) unsur kepuitisan dicapai lewat ulangan kata dan bunyi. Dengan demikian apabila Anda akan menulis puisi anak atau mengajarkan penulisan puisi anak kepada anak-anak maupun siswa, Anda harus memperhatikan karakteristik tersebut.
Puisi remaja memiliki ciri, antara lain (1) tema-tema yang diolah beragam, mulai dari masalah cinta, pergaulan dalam dunia remaja, kepedulian terhadap lingkungan dan keadaan sekitarnya, sampai renungan kehidupan dan kematian, (2) ekspresi cenderung bersifat langsung, (3) penggunaan bahasa kiasan dalam taraf sederhana, (4) makna puisi mudah dipahami, (5) dibandingkan puisi anak-anak yang singkat, puisi remaja lebih panjang.
Penyebutan puisi dewasa sebenarnya tidak lazim karena biasanya puisi yang ditulis oleh orang (penyair) dewasa hanya disebut puisi begitu saja. Penyebutan tersebut tidak hanya dalam konteks pengajaran puisi di sekolah dan dalam rangka membedakannya dengan puisi anak-anak dan remaja.
RAGAM DAN JENIS PUISI
by pujangga | category: Article | 23/07/2009 | 00:35:37 AM | 16764 Views



Ada bermacam-macam jenis puisi yang ditulis para penyair Indonesia. Karya sastra tidak bersifat otonom. Dalam memahami makna karya sastra, kita mengacu pada beberapa hal yang erat hubungannya dengan puisi tersebut. Dalam pemahaman puisi, hal yang dipandang erat hubungannya adalah jenis puisi itu sendiri dan sudut pandang penyair. Sebenarnya ada banyak sekali macam-macam puisi, dan bagaimana penyair dalam menyampaikan inspirasinya, serta bagaimana menafsirkan makna puisi dengan mudah. Sehingga mudah mengklasifikasikan, termasuk jenis puisi apakah yang kita ciptakan.

W.H Hudson menyatakan adanya puisi sebyektif dan puisi obyektif (1959:96). Cleanth Brooks menyebut adanya puisi naratif dan puisi deskriptif (1979:335-356). David Daiches menyebut adanya puisi fisik, platonic, dan metafisik (1948:145). X.J. Kennedy menyebut adanya puisi konkret dan balada (1071:116-226). Dalam kumpulan puisi Rendra, kita mengenal judul-judul: balada, romansa, stanza, serenada, dan sebagainya. Ada juga parable atau alegori. Sedangkan istilah ode, himne, puisi kamar, dan puisi auditorium juga sering kita jumpai.

1. Puisi Naratif, Lirik, dan Deskriptif
Klasifikasi puisi ini berdasarkan cara penyair mengungkapkan isi atau gagasan yang hendak disampaikan.

a. Puisi Narataif
Puisi naratif mengungkapkan cerita atau penjelasan penyair. Ada puisi naratif yang sederhana, ada yang sugestif, dan ada yang kompleks. Puisi-puisi naratif, misalnya: epik, romansa, balada, dan syair.

Balada adalah puisi yang bercerita tentang orang-orang perkasa, tokoh pujaan, atau orang-orang yang menjadi pusat perhatian. Rendra banyak sekali menulis balada tentang orang-orang tersisih, yang oleh penyairnya disebut "Orang-orang Tercinta". Kumpulan baladanya yaitu, Balada Orang-orang Tercinta dan Blues Untuk Bonnie.


Romansa adalah jenis puisi cerita yang menggunakan bahasa romantic berisi kisah percintaan yang berhubungan dengan ksatria, dengan diselingi perkelahian dan petualangan yang menambah percintaan mereka lebih mempesonakan. Rendra juga banyak menulis romansa. Salah satu bagian dalam "Empat Kumpulan Sajak"nya berjudul "Romansa" dan berisi jenis puisi romansa, yakni kisah percintaan sebelum Rendra menikah. Kirdjomuljo menulis romansa yang berisi kisah petualangan dengan judul “Romance Perjalanan". Kisah cinta ini dapat huga berarti cinta tanah kelahiran seperti puisi-puisi Ramadhan K.H. Priangan “Si Jelita”. Priode 1953-1961 banyak ditulis jenis romansa ini.

b. Puisi Lirik
Dalam puisi lirik penyair mengungkapkan aku lirik atau gagasan pribadinya. Ia tidak bercerita. Jenis puisi lirik misalnya: elegi, ode, dan serenada.

Elegi adalah Puisi yang mengungkapkan perasaan duka. Misalnya "Elegi Jakarta" karya Asrul Sani yang mengungkapkan perasaan duka penyair di kota Jakarta.

Serenada adalah Sajak percintaan yang bisa dinyanyikan. Kata serenada berarti nyanyian yang tepat dinyanyikan pada waktu senja. Rendra banyak menciptakan serenada dalam 'Empat Kumpulan Sajak'. Misalnya Serenada hitam, Serenada Biru, serenade Merah Jambu, serenade ungu, Serenada Kelabu, dan sebagainya. Warna-warna dibelakang serenada itu melambangkan sifat nyanyian cinta itu, ada yang bahagia, sedih, kecewa, dan seterusnya.

Ode adalah Puisi yang berisi pujaan terhadap seseorang, sesuatu hal, sesuatu keadaan. Yang banyak ditulis adalah pemujaan terhadap tokoh-tokoh yang dikagumi. “Teratai” Sanusi Pane, “Diponegoro” Chairil Anwar, dan “Ode Buat Proklamator” Leon Agusta merupakan contoh ode yang bagus.

Berikut ini kutipan Ode Buat Proklamator, sebuah ode yang memuja tokoh proklamator Bung Karno dan Bung Hatta.

ODE BUAT PROKLAMATOR
Bertahun setelah kepergiannya kurindukan dai kembali
Dengan gelombang semangat halilintar dilahirkan sebuah negri; dalam Lumpur dan lumut
Dengan api menyapu kelam menjadi untaian permata hijau dibentangan cahaya abadi
Yang sesantiasa membuatnya tak pernah berhenti bermimpi menguak kabut gulita mendung, menerjang benteng demi benteng membalikkan arah to[pan, menjelmakan impian demi impian
Dengan seorang sahabatnya, mereka tanda tangani naskah itu
Mereka memancang tiang bendera, merobah nama dan peta, berjaga membacakan sejarah, menggenti bahasa pada buku
Lalu dia meniup terompet dengan selaksa nada kebangkitan sukma.

Kini kita ikut membubuhkan nama diatas bengkalainya; meruntuhkan sambil mencari, daftar mimpi membelit bulan perang saudara mengundang musnah, dendam tidur di hutan-hutan, di sawah terbuka yang sakti
Kata berpasirdibibir pantai hitam dan oh, lidahku yang terjepit, buih lenyap dilaut biru derap suara yang gempita Cuma bertahan atau menerkam
Ya, walau tak mudah, kurindukan semangatnya menyanyi kembali bersama gemuruh cinta yang membangun sejuta rajawali
Tak mengelak dalam bercumbu, biar berbisa perih dirabu
Berlapis cemas menggunung sesal mutiara matanya yang pudar
Bagi negriku, bermimpi dibawah bayangan burung garuda
(Hukla 1979)

Dalam puisi ini, dapat diungkapkan rasa kagum penyair kepada sang proklamator. Ungkapan-ungkapan rasa kagum ini sangat mengena dan tidak bersifat klise. Kerinduan penyair untuk mendengarkan bara semangat yang ditiupkan lewat pidato-pidato yang berapi-api, dapat kita hayati sejak enam baris terakhir.

c. Puisi Deskriptif
Didepan telah dinyatakan bahwa dalam puisi deskriptif, penyair bertindak sebagai pemberi kesan terhadap keadaan / peristiwa, benda, atau suasana dipandang menarik perhatian penyair. Jenis puisi yang dapat diklasifikasikan dalam puisi deskriptif, misalnya puisi satire, kritik sosial, dan puisi-puisi impresionitik.

Satire adalah Puisi yang mengungkapkan perasaan tidak puas penyair terhadap suatu keadaan, namun dengan cara menyindir atau menyatakan keadaan sebaliknya.

Kritik Sosial adalah Puisi yang juga menyatakan ketidak senangan terhadap keadaan tau terhadap diri seseorang, namun dengan cara membeberkan kepincangan atau ketidak beresan keadaan / orang tersebut.

Impresionistik adalah Puisi yang mengungkapkan kesan (impresi) penyair terhadap suatu hal.

2. Puisi Kamar dan Puisi Auditorium
Istilah puisi kamar dan puisi auditorium juga kita jumpai dalam buku kumpulan puisi ‘Hukla’ karya Leon Agusta. Puisi-puisi auditorium disebut juga puisi Hukla (puisi yang mementingkan suara atau serangakaian suara).
Puisi Kamar ialah Puisi yang cocok dibaca sendirian atau dengan satu atau dua pendengar saja di dalam kamar.

Puisi Auditorium adalah Puisi yang cocok dibaca di auditorium, di mimbar yang jumlah pendengarnya dapat ratusan orang.

Sajak-sajak Leon Agusta banyak yang dimaksudkan untuk sajak auditorium. Puisi-puisi Rendra kebanyakan adalah puisi auditorium yang baru memperlihatkan keindahannya setelah suaranya terdengar lewat pembacaan yang keras. Puisi auditorium disebut juga puisi oral karena cocok untuk dioralkan.

3. Puisi Fisikal, Platonik, dan Metafisikal
Pembagian puisi oleh David Daiches ini berdasarkan sifat dari isi yang dikemukakan dalam puisi itu.

Puisi Fisikal adalah Puisi bersifat realistis, artinya menggambarkan kenyataan apa adanya. Yang dilukiskan adalah kenyataan dan bukan gagasan. Hal-hal yang didengar, dilihat, atau dirasakan merupakan obyek ciptaannya. Puisi-puisi naratif, balada, impresionistis, juga puisi dramatis biasanya merupakan puisi fisikal.

Puisi Platonik adalah Puisi yang sepenuhnya berisi hal-hal yang bersifat spiritual atau kejiwaan. Dapat dibandingkan dengan istilah 'Cinta Platonis' yang berarti cinta tanpa nafsu jasmaniah. Puisi-puisi ide atau cita-cita, religius, ungkapan cinta luhur seorang kekasih atau orang tua kepada anaknya dapat dimasukkan ke dalam klasifikasi puisi platonik.

Puisi Metafisikal adalah Puisi yang bersifat filosofis dan mengajak pembaca merenungkan kehidupan dan merenungkan Tuhan. Puisi religius disatu pihak dapat dinyatakan puisi platonic (menggambarkan ide atau gagasan penyair), dilain pihak dapat disebut sebagai puisi metafisik (menagjak pembaca merenungkan hidup, kehidupan, dan Tuhan), karya-karya mistik Hamzah Fansuri seperti Syair Dagang, Syair Perahu, dan Syair Si Burung Pingai dapat dipandang sebagai puisi metafisikal. Kasidah-kasidah “Al-Barzanji” karya Ja'far Al-Barzanji dan tasawuf karya Jalaludin Rumi dapat diklasifikasikan sebagai puisi metafisikal.

4. Puisi Subyektif dan Puisi Obyektif
Puisi Subyektif disebut juga Puisi Personal, yakni puisi yang mengungkapkan gagasan, pikiran, perasaan, dan suasana dalam diri penyair sendiri. Puisi-puisi yang ditulis kaum ekspresionis dapat diklasifikasikan sebagai puisi subyektif, karena mengungkapkan keadaan jiwa penyair sendiri. Demikian pula puisi lirik dimana aku lirik bicara kepada pembaca.

Puisi Obyektif berarti Puisi yang mengungkapkan hal-hal diluar diri penyair itu sendiri. Puisi obyektif disebut juga puisi impersonal. Puisi naratif dan deskriptif kebanyakan adalah puisi obyektif, meskipun juga ada beberapa yang subyektif.

5. Puisi Konkret
Puisi konkret sangat terkenal dalam dunia perpuisian Indonesia sejak tahun 1770-an. X.J.Kennedy memberikan nama jenis puisi tertentu dengan nama puisi konkret, yakni puisi yang bersifat visual, yang dapat dihayati keindahan bentuk dari sudut pandang (poem for the eye). Kita mengenal adanya bentuk grafis dari puisi, kaligrafi, ideogramatik, atau puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri yang menunjukkan pengimajian lewat bentuk grafis. Dalam puisi konkret ini, tanda baca dan huruf-huruf sangat potensial membentuk gambar. Gambar wujud fisik yang 'kasat mata' lebih dipentingkan dari pada makna yang ingin disampaikan. Contoh dalam bahasa Inggris, misalnya karya Joice Klimer berikut ini :
t
ttt
rrrrrrr
eeeeeeeee
???

Kata yang hendak dinyatakan dalam puisi ini hanyalah 'tree', namun karena membentuk gambar pohon natal, maka pembaca mengetahui bahwa yang dimaksud penyair adalah pohon natal. Karya Sutardji banyak sekali yang dapat diklasifikasikan sebagai puisi konkret. Kemudian diikuti oleh penyair-penyair yang lebih muda. Puisi konkret ada yang berbentuk segi tiga, kerucut, belah ketupat, piala, tiang lingga, oval, spindle, ideografik, dan ada juga yang menunjukkan lambang tertentu.

6. Puisi Diafan, Gelap, dan Prismatis
Puisi Diafan atau puisi polos adalah puisi yang kurang sekali menggunakan pengimajian, kata konkret dan bahasa figurative, sehingga puisinya mirip dengan bahasa sehari-hari. Puisi yang demikian akan sangat muda dihayati maknanya. Puisi-puisi anak-anak atau puisi karya mereka yang baru belajar menulis puisi dapat diklasifikasikan puisi diafan. Mereka belum mampu mengharmoniskan bentuk fisik untuk mengungkapkan makna. Dengan demikian penyair tersebut tidak memiliki kepekaan yang tepat dalam takarannya untuk lambang, kiasan, majas, dan sebagainya. Jika puisi terlalu banyak majas, maka puisi itu menjadi gelap dan sukar ditafsirkan. Sebaliknya jika puisi itu kering akan majas dan versifikasi, maka itu akan menjadi puisi yang bersifat prosaic dan terlalu cerlang sehingga diklasifikasikan sebagai puisi diafan.

Dalam puisi prismatis penyair mampu menyelaraskan kemampuan menciptakan majas, versifikasi, diksi, dan pengimajian sedemikian rupa sehingga pembaca tidak terlalu mudah menafsirkan makna puisinya, namun tidak terlalu gelap. Pembaca tetap dapat menelusuri makna puisi itu. Namun makna itu bagaikan sinar yang keluar dari prisma. Ada bermacam-macam makna yang muncul karena memang bahasa puisi bersifat multi interpretable. Puisi prismatis kaya akan makna, namun tidak gelap. Makna yang aneka ragam itu dapat ditelusuri pembaca. Jika pembaca mempunyai latar belakang pengetahuan tentang penyair dan kenyataan sejarah, maka pembaca akan lebih cepat dan tepat menafsirkan makna puisi tersebut.
Penyair-penyair seperti Amir Hamzah dan Chairil Anwar dapat menciptakan puisi-puisi prismatis. Namun belum tentu semua puisi yang dihasilkan bersifat prismatis. Hanya dalam suasana mood seorang penyair besar mampu menciptakan puisi prismatis. Jika puisi itu diciptakan tanpa kekuatan pengucapan, maka niscaya tidak akan dapat dihasilkan puisi prismatis. Puisi-puisi dari orang yang baru belajar menjadi penyair biasanya adalah puisi diafan. Namun kadang-kadang juga kita jumpai puisi gelap.

7. Puisi Pernasian, dan Puisi Inspiratif
Pernasian adalah sekelompok penyair Prancis pada pertengahan akhir abad 19 yang menunjukkan sifat puisi-puisi yang mengandung nilai keilmuan. Puisi pernasian diciptakan dengan pertimbangan ilmu atau pengetahuan dan bukan didasari oleh inspirasi karena adanya mood dalam jiwa penyair. Puisi-puisi yang ditulis oleh ilmuwan yang kebetulan mampu menulis puisi, kebanyakan adalah puisi pernasian. Puisi-puisi Rendra dalam “Potret Pembangunan” dalam puisi yang banyak berlatar belakang teori ekonomi dan sosiologi dapat diklasifikasikan sebagai puisi pernasian. Demikian juga puisi-puisi Dr. Ir. Jujun S. Suriasumantri yang sarat dengan pertimbangan keilmuan.

Puisi Inspiratif diciptakan berdasarkan mood atau passion. Penyair benar-benar masuk ke dalam suasana yang hendak dilukiskan. Suasana batin penyair benar-benar terlibat kedalam puisi itu. Dengan mood, puisi yang diciptakan akan memiliki tenaga gaib, sekali baca habis. Pembaca memerlukan waktu cukup untuk menafsirkan . puisi prosaic seperti karya penyair-penyair tahun 1970-an dibawah ini, termasuk puisi yang menggunakan bahasa pernassioan.

Karena Jajang
Tuhan
Saya minta duit
Buat beli sugus
Karena Jajang
Lagi doyan sugus

8. Stansa
Jenis puisi yang bernama stanza kita jumpai dalam Empat Kumpulan Sajak karya Rendra. Stanza artinya puisi yang tediri atas 8 baris. Stanza berbeda dengan oktaf karena oktaf dapat terdiri atas 16 atau 24 baris. Aturan pembarisan dalam oktaf adalah 8 baris untuk tiap bait, sedangkan dalam setanza seluruh puisi itu hanya terdiri atas 8 baris. Berikut ini dikutip contoh stanza yang ditulis sekitar tahun 1969.

Malam kelabu
Ada angina mnerpa jendela
Ada langit berwarna kelabu
Hujan titik satu-Saturday menatap cakrawala malam jauh
Masih adakah kuncup-kuncup mekar
Atau semua telah layu
Kelu dalam seribu janji
Kelam dalam penantian.
(Herwa, 1969)

9. Puisi Demonstrasi dan Pamflet
Puisi demonstrasi menyaran pada puisi-puisi Taufiq Ismail dan mereka yang oleh Jassin disebut angkatan 66. puisi ini melukiskan dan merupakan hasil refleksi demonstrasi para maha siswa dan pelajar sekitar tahun 1966. Menurut subagio Sastrowardoyo, puisi-puisi demonstrasi 1966 bersifat ke-kita-an, artinya melukiskan perasaan kelompok, bukan perasaan individu. Puisi-puisi mereka adalah endapan dari pengalaman fisik, mental, dan emosional selama penyair terlibat dalam demonstrasi 1966. gaya paradoks dan ironi banyak kita jumpai. Sementara itu, kata-kata yang membakar semangat kelompok banyak dipergunakan, seperti kebenaran, kamanusiaan, tirani, kebatilan, dan sebagainya. Di bawah ini dikemukakan salah satu contoh.

Mimbar
Dari mimbar ini telah dibicarakan
Pikiran-pikiran dunia
Suara-suara kebebasan
Tanpa ketakutan

Dari mimbar ini diputar lagi
Sejarah kemanusiaan
Pengembangan teknologi
Tanpa ketakutan

Di kampus ini
Telah dipahatkan
Kemerdekaan

Segala despot dan tirani
Tidak bisa dirobohkan
Mimbar kami
(Taufiq Ismail, 1966)

Seperti halnya puisi pamflet, puisi-puisi demonstrasi merupakan ungkapan sepihak, sehingga kebenaran sulit ditrima secara obyektif. Pihak yang dibela diberikan tempat dan kedudukan yang terhormat dan serba benar, sedang pihak yang dikritik dilukiskan berada dalam posisi yang kurang simpatik.

Puisi pamflet juga mengungkapkan protes social. Disebut puisi pamflet karena bahasanya adalah bahasa pamflet. Kata-katanya mengungkapkan rasa tidak puaas kepada keadaan. Munculnya kata-kata yang berisi protes secara spontan tanpa proses pemikiran atau perenungan yang mendalam. Istilah-istilah gagah membela kelompoknya disertai dengan istilah tidak simpatik yang memojokkan pihak yang dikritik. Seperti halnya puisi demonstrasi, bahasa pusi pamflet juga bersifat prosaic.

Rendra adalah tokoh puisi pamflet. Didepan telah diberikan salah satu contoh puisi pamflet Rendra yang berjudul "Sajak Burung Kondor". Kata-kata cukong, dan kondom dinyatakan bersam dengan kata-kata penderitaan, kelaparan, dan kesengsaraan rakyat kecil yang dibela. Dalam pusi-puisi pamflet banyak kita jumpai kata-kata tabu yang diungkapkan penyair untuk menunjukkan kedongkolan hati penyair kepada pihak yang dikritik atau terhadap keadaan yang tidak memuaskan dirinya.
Puisi pamflet Rendra kehilangan makna konotatif, suatu kehebatan Rendra dalam menciptakan puisi pada tahun 50-an. Kata-kata kasar, ungkapan-ungkapan langsung ke sasaran, dan hiperbola yang bertujuan memojokkan pihak yang dikritik banyak kita jumpai dalam puisi-puisi pamflet Rendra. Puisi-puisi pamflet Rendra ini mengingatkan kita akan puisi-puisi Jerman pada awal industrialisasi di sana. Puisi-puisi pamflet Rendra kebetulan merupakan reaksi terhadap industrialisasi yang berkembang pesat sekitar tahun 1974 (seperti halnya puisi pamflet Jerman). Berikut ini dikutip salah satu puisi pamflet Rendra

Menghirup sebatang lisong,
Melihat Indonesia Raya,
Mendengar 130 juta rakyat,
Dan di langit
Dua tiga cukong mengangkang,
Berak diatas mereka
………………………………….
Delapan juta kanak-kanak
Menghadapi satu jalan panjang,
Tanpa pilihan,
Tanpa pohonan
Tanpa dangau persinggahan,
Tanpa ada bayangan ujungnya
…………………………………..
Menghisap udara
Yang disemprot deodorant,
Aku melihat sarjana-sarjana menganggur
Berpeluh di jalan raya;
Aku melihat wanita bunting
Antri uang pensiun
Dan di langit:
Para teknokrat berkata :
Bahwa bangsa kita adalah malas
Bahwa bangsa mesti dibangun
Mesti di up-grade,
Disesuaikan dengan teknologi yang diimport.
……………………………………………………
Bunga-bunga bangsa tahun depan
Berkunang-kunang pandang matanya,
Di bawah iklan berlampu neon.
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
Menjadai gembalau suara kacau,
Menjadi karang di bawah muka samudra.
Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode
Tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
Keluar ke desa-desa,
Mencatat sendiri semua gejala,
Dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku
Pamflet masa darurat,
Apakah arti kesenian,
Bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
Bila terpisah dari masalah kehidupan.

10. Alegori
Puisi sering-sering mengungkapakan cerita yang isinya dimaksudkan untuk memberikan nasihat tentang budi pekerti dan agama. Jenis alegori yang terkenal adalah parable yang juga disebut dongeng perumpamaan. Dalam kitab suci banyak kita jumpai dongeng-dongeng perumpamaan yang maknanya dapat kita cari dibalik yang tersurat. Puisi "Teratai" karya Sanusi Pane boleh dikatakn sebagai puisi alegori, karena kisah bunga teratai itu digunakan untuk mengisahkan tokoh pendidikan. Kisah tokoh pendidikan yang dilukiskan sebagai teratai itu digunakan untuk memberi nasihat kepada generasi muda agar mencontoh teladan 'teratai' itu. Cerita berbingkai seperti Panca Tantra, 1001 Malam, Bayan Budiman dan Hikayat Bachtiar juga dapat diklasifikasikan sebagai parable.
Contoh Prosa Lama dan Prosa Baru - Kita dapat membedakan dengan cepat antara puisi dan prosa rekaan dan struktur fisiknya. Yang dapat dilihat secara sepintas dan struktur fisik prosa rekaan adalah pengaturan kata-katanya.
Dalam bentuk tertulis, kata-kata yang terdapat dalam prosa rekaan memenuhi seluruh halaman dan tepi kiri sampai kanan. Kumpulan kata dibentuk menjadi kalimat. Hal ini berbeda
dengan puisi. Di dalam puisi, kumpulan kata akan membentuk baris. Kalimat dalam prosa rekaan dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri tanda titik (.) atau tanda akhir berupa tanda tanya atau tanda seta (? atau !). Kalimat-kalimatnya membentuk paragraf, bukan bait. Kebanyakan paragraf ditulis menjorok ke dalam lima sampai tujuh ketukan, demikian juga dialog antartokohnya.

Dalam bentuk lisan, prosa rekaan lebih banyak berupa cerita. Bentuk ini mempunyai tokoh, jalan cerita, latar cerita, terra, nilai-nilai yang disampaikan yang cukup jelas. Prosa rekaan bisa dibedakan atas prosa lama dan prosa baru (modern).

Prosa Lama
Prosa lama mempunyai bentuk-bentuk sebagai berikut:
1) Hikayat, bentuk sastra lama yang berisi cerita kehidupan para dewa, peri, pangeran atau putri kerajaan, serta raja-raja yang mempunyai kehidupan luar biasa dan gaib.
2) Sejarah atau tiambo, salah satu bentuk prosa lama yang isi ceritanya diambil dari suatu peristiwa sejarah yang pernah terjadi.
3) Dongeng. bentuk sastra lama yang bercerita tentang sesuatu kejadian yang luar biasa dan penuh khavalan, tentang dewa-dewa, peri-peri, putri-putri cantik, dan sebagainya. Fungsi dongeng haruslah sebagai penghibur. Oleh karena itu, dongeng disebut juga cerita pelipur lara.

Prosa Baru (Modern)
Prosa baru merupakan pancaran dari masyarakat baru. Karya-karya prosa yang dihasilkan oleh masyarakat baru Indonesia mulai fleksibel dan bersifat universal; ditulis dan dilukiskan secara lincah serta bisa dinikmati oleh lingkup masyarakat yang lebih luas.

Bentuk-bentuk prosa baru, antara lain sebagai berikut:
1) Roman berisi cerita tentang kehidupan manusia yang dilukiskan seeara terperinci atau detail. Berdasarkan isinya, roman dapat dibagi menjadi roman sejarah, roman sosial, roman jiwa, roman tendens.
2) Cerpen singkatan dari Cerita pendek; adalah karangan pendek yang berbentuk naratif. Cerpen mengisahkan sepenggal kehidupan manusia yang penuh pertikaian, mengharukan atau menyenangkan, dan mengandung kesan yang tidak mudah dilupakan.
3) Novel, karangan imajinatif yang mengisahkan sisi utuh atas probematika kehidupan manusia atau beberapa orang tokoh.
4) Otobiografi, berisi kisah cerita tentang pribadi si pengarang sendiri, mengenai pengalaman hidupnya sejak kecil hingga dia dewasa.
5) Biografi, berisi suatu kisah atau cerita tentang pengalaman hidup seseorang dari kecil hingga dewasa atau bahkan sampai meninggal dunia yang ditulis oleh orang lain.
6) Essay, karangan yang berupa kupasan tentang suatu hasil karya sastra, kesenian, atau bidang kebudayaan yang dilakukan oleh seorang ahli di bidangnya.
7) Kritik: kupasan tentang satu karya sastra, kesenian, serta bidang kebudayaan yang ditulis oleh seorang ahli dengan menekankan pada fakta yang objektif.
-Jenis-jenis Drama
Jika kamu pernah menonton sinetron atau film, pernahkah kamu menonton sebuah pertunjukan wayang atau lenong? Nah, sinetron, film, wayang, dan lenong juga merupakan drama. Sinetron dan film merupakan jenis drama modern, sedangkan wayang dan lenong merupakan jenis drama klasik. Agar kamu lebih memahaminya, bacalah pembagian drama berikut ini
1. Drama menurut masanya dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu
• Drama Baru/Drama Modern Drama baru adalah drama yang memiliki tujuan memberikan pendidikan kepada masyarakat yang umumnya bertema kehidupan manusia sehari-hari. Contoh drama baru/modern adalah sinetron, opera, dan film.

• Drama Lama/Drama Klasik
Drama lama adalah drama khayalan yang umumnya menceritakan tentang kesaktian, kehidupan istana atau kerajaan, kehidupan dewa-dewi, kejadian luar biasa, dan sebagainya. Contoh drama tradisional/klasik, seperti lenong (pertunjukan sandiwara dengan gambang kromong dari Jakarta), topeng Betawi, dagelan/ketoprak (sandiwara tradisional Jawa dengan iringan musik gamelan, diringi tarian dan tembang), wayang yang dimainkan seorang dalang, dan randai (tarian yang dibawakan oleh sekelompok orang yang berkeliling membentuk lingkaran dan menarikannya sambil bernyanyi dan bertepuk tangan).
2. Drama menurut kandungan isi ceritanya, yaitu
• Drama Komedi Drama komedi adalah drama yang lucu dan menggelitik penuh keceriaan.
• Drama Tragedi Drama tragedi adalah drama yang ceritanya sedih penuh kemalangan.
• Drama Tragedi Komedi Drama tragedi-komedi adalah drama yang ada sedih dan ada lucunya.
• Opera Opera adalah drama yang mengandung musik dan nyanyian.
• Lelucon/Dagelan Lelucon adalah drama yang lakonnya selalu bertingkah pola jenaka merangsang gelak tawa penonton.
• Operet / Operette Operet adalah opera yang ceritanya lebih pendek.
• Pantomim Pantomim adalah drama yang ditampilkan dalam bentuk gerakan tubuh atau bahasa isyarat tanpa pembicaraan.
• Tablo Tablo adalah drama yang mirip pantomim yang dibarengi oleh gerak-gerik anggota tubuh dan mimik wajah pelakunya.
• Passie Passie adalah drama yang mengandung unsur agama/relijius.
• Wayang Wayang adalah drama yang pemain dramanya adalah boneka wayang.