Kamis, 24 November 2011

“KUNJUNGAN BUDAYA DAN KULIAH ALAM SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN KARAKTER BERBASIS KEARIFAN LOKAL BAGI MAHASISWA BARU ”

Oleh : Muhammad Basir Mtd

A. Latar Belakang
Pendidikan adalah yang utama dan terutama di dalam kehidupan era masa sekarang ini. Sejauh kita memandang maka harus sejauh itulah kita harus membekali diri kita dengan berbagai pendidikan. Kita jangan salah memahami bahwa pendidikan diperoleh dengan cara menempuh jalur formal saja, dengan cara datang, duduk, mendengar dan selanjutnya hingga akan memperoleh penghargaan dari test yang sudah dilewati.
Pendidikan dapat diperoleh dengan berbagai cara terlebih lagi semakin mendukungnya perkembangan alat-alat elektronika sekarang ini. Dengan mudah kita beroleh informasi tentang perkembangan zaman baik dari belahan bumi barat terlebih lagi dari negara tetangga.
Pendidikan, pengetahuan dan keterampilan adalah tiga unsure yang akan menentukan masa depan seorang manusia. Hal ini tergantung sejauh mana masing-masing individu membekali dirinya tentang ketiga hal di atas. Sepintas lalu, mungkin banyak cara yang ditempuh oleh masing-masing individu. Dan cara inipun memungkinkan sejauh mana kualitas pencapaian pengetahuan dan keterampilannya.
Lumrahnya mahasiswa baru yang masih terlena dengan euphoria keremajaannya di SMA/sederajat dan rentan sekali terhadap pengaruh kebudayaan-kebudayaan yang tidak sehat. Tidak mustahil bahwa mereka seringkali “terkejut” ketika menginjakkan kakinya ke dalam dunia kampus dengan nuansa ilmiah yang lebih. Berbagai aktifitas mereka jalani secara kompleks sehingga mereka terbangun sendiri bahwa mereka adalah mahasiswa.
Selain itu, dalam era globalisasi, arus informasi begitu deras mengalir, batas-batas geografis juga tidak menjadi hal yang berarti. Hal ini menyebabkan banyak terjadi pencampuran budaya maupun nilai-nilai yang ada. Seringkali anak anak bahkan mahasiswa lebih mengetahui hasil kebudayaan modern dibandingkan dengan kebudayaan di sekitarnya. Ditambah lagi dengan kondisi lingkungan yang kurang kondusif dimana sikap egoistis dan individualis menjadi ancaman bagi kepribadian individu. Sering pula kita silau dengan budaya maupun nilai-nilai luar menganggap hal itu lebih baik dibanding budaya sendiri. Rasa keminderan/inferioritas merasuk dalam diri anak bangsa. Sehingga terlahirlah sikap asertif terhadap kebudayaan kita sendiri. Akhir dari segalanya adalah terjadinya pembekuan karakter mahasiswa, dan lama kelamaan akan larut seiring perkembangan zaman.
Hal di atas juga seringkali menimpa mahasiswa khususnya mahasiswa baru. Sehingga dikhawatirkan akan terjadi kepunahan terhadap kebudayaan bangsa sendiri. Sikap egoistis yang tinggi akan mengiring generasi muda buta akan kebudayaan Indonesia.
Melihat fenomena tersebut, maka kita sebagai anak bangsa memerlukan sebuah desain jangka panjang agar generasi muda khususnya insane akademis muda tidak buta akan kebudayaan dan kearifan local bangsa Indonesia. Kita perlu memberikan suplemen yang mampu mendoktrin mahasiswa sebagai agent of change dan social control khususnya penanaman karakter berorientasi pada kebudayaan dan kearifan local.
Maka, sangat menarik jika kita mendesain sebuah acara dalam rangka penanaman karakter berbasis kearifan local yang terangkum dalam kunjungan budaya dan kuliah alam.

B. Pembahasan

1. Kearifan Lokal
Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai ‘kearifan/kebijaksanaan’.
Lokal secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut settting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah-laku mereka.
Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban. Secara substansial, kearifan lokal itu adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat. Oleh karena itu, sangat beralasan jika Greertz mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal itu berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit dan masyarakatnya adalah yang menentukan dalam pembangunan peradaban masyarakatnya.
Teezzi, Marchettini, dan Rosini mengatakan bahwa akhir dari sedimentasi kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama. Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari.
Proses sedimentasi ini membutuhkan waktu yang sangat panjang, dari satu generasi ke generasi berikut. Teezzi, Marchettini, dan Rosini mengatakan bahwa kemunculan kearifan lokal dalam masyarakat merupakan hasil dari proses trial and error dari berbagai macam pengetahuan empiris maupun non-empiris atau yang estetik maupun intuitif. Kearifan lokal lebih menggambarkan satu fenomena spesifik yang biasanya akan menjadi ciri khas komunitas kelompok tersebut, misalnya alon-alon asal klakon (masyarakat Jawa Tengah), rawe-rawe rantas malang-malang putung (masyarakat Jawa Timur), ikhlas kiai-ne manfaat ilmu-ne, patuh guru-ne barokah urip-e (masyarakat pesantren), dan sebagainya.

2. Pentingnya Kearifan Lokal
Model pendidikan berbasis kearifan lokal adalah model pendidikan yang memiliki relevansi yang tinggi bagi pengembangan kecakapan hidup (life skill) dengan bertumpu pada pemberdayaan keterampilan dan potensi lokal di masing-masing daerah. Dalam model pendidikan ini materi harus memiliki makna dan relevansi tinggi terhadap pemberdayaan hidup mereka secara nyata berdasarkan realitas yang mereka hadapi. Kurikulum yang harus disiapkan adalah kurikulum yang sesuai dengan kondisi lingkungan hidup, budaya, minat dan kondisi psikis peserta didik.
Pendidikan berbasis kearifan lokal adalah pendidikan yang mengajarkan peserta didik untuk dekat dengan situasi konkrit yang mereka hadapi. Beberapa aspek kehidupan yang menyangkut kearifan lokal antara lain:
1. Kebijaksanaan setempat
2. Pengetahuan setempat
3. Kecerdasan setempat

Cara yang paling efektif untuk melestarikan kearifan lokal sekaligus mengembangkan nilai yang terkandung di dalamnya adalah melalui pendidikan, baik formal maupun non-formal. Secara non-formal dapat dilakukan di waktu liburan sebagai sarana pengisi liburan dengan kegiatan yang bermanfaat, maka Kunjungan Budaya dan Kuliah Alam dapat menjadi solusi. Ada dua manfaat yang dapat diambil yakni sebagai pengisi liburan yang bermanfaat sekaligus penanaman nilai-nilai dari kearifan lokal sejak dini.

3. Mahasiswa Baru
Secara psikogis, posisi mahasiswa baru bisa disamaratakan dengan masa peralihan dalam hal pemikiran. Euforia semasa SMA/sederajat yang mereka nikmati masih kental dalam memori dan masih mempengaruhi system kognisi mereka. Sensitifitas perasaan masih bersemayam dalam jiwa muda mereka. Kondisi psikologis seperti ini akan mempengaruhi pola pergaulan dan pola interaksi social mereka. Bahkan mereka dalam beberapa hal tidak akan selektif seperti untuk memilih teman, untuk beraktifitas dan rentan mudah terpengaruh dengan kebudayaan dan pola hidup modern yang menurut kacamata etika tidak cocok dengan kebudayaan bangsa Indonesia.
Berbicara masalah karakter mahasiswa baru. Labil adalah kesan pertama yang harus kita sematkan. Oleh karena itu, dalam rangka membangun karakter tersebut. Perlu beberapa hal yang bias menarik minta mereka. Dalam tulisan ini, kita akan mencoba penanaman karakter berbasis karifan local melalui kunjungan budaya dan kuliah alam.

4. Pembangunan Karakter
Dalam sejarah perjalanan bangsa, Indonesia dikenal memiliki banyak kekayaan karakter, yaitu bangsa yang memiliki karakter pejuang, bangsa yang percaya dengan Tuhan, gotong royong, ramah-tamah dan memilki semangat kekeluargaan. Namun ternyata negara dan pranata yang ada belum bisa mentransformasi modal sosial yang potensial tersebut untuk membangun etos kerja yang kuat dan tidak membuahkan semangat perubahan.
Kampus/ Perguruan Tinggi merupakan salah satu lembaga pendidikan formal yang secara sistematis melaksanakan program bimbingan, pengajaran dan latihan dengan tujuan melatih potensinya. Sehingga pengembangan karakter pada usia yang rentan atau pada saat usia mahasiswa merupakan waktu yang tepat dengan bimbingan yang tepat dapat lebih mengoptimalkan potensi yang nantinya diarahkan sesuai dengan karakter bangsa.
Menurut Havighurst (1961:5) sekolah, dalam hal ini kampus memiliki peran atau tanggung jawab penting dalam membantu siswa mencapai tugas perkembangannya. Pengembangan karakter siswa harus didukung oleh kualitas para guru/ dosen baik menyangkut karakteristik pribadi maupun kompetensinya. Guru/ dosen diharapkan dapat membentuk karakter sisiwa/mahasiswa yang sesuai dengan karakter bangsa.
Pembangunan karakter juga bias disalurkan melalui berbagai kegiatan ekstra kampus. Wadah tersebut di desain sedemikian rupa sesuia denga karakter atau kecenderungan mahasiswa baru. Ada kegiatan ekstra yang berorientasi pada bidang keagamaan, bidang olahraga, bidang music, dan lain sebagainya.Dalam rangka penempaan karakter, secara menyeluruh akan di desain acara, biasanya, dalam dunia kampus dikenal dengan inegurasi atau pembekalan mahasiswa baru. Tapi cara ini sudah lama diterapkan dan belum terbukti efektif dalam menempa karakter mahasiswa baru menjadi mahasiswa yang seutuhnya. Oleh karena itu, ada baiknya dengan cara kunjungan budaya dan kuliah alam diharapkan mampu menempa karakter mahasiswa baru.

5. Pentingnya Pembangunan Karakter
Bangsa Indonesia dikenal memiliki banyak kekayaan karakter, yaitu bangsa yang memiliki karakter pejuang, bangsa yang percaya dengan Tuhan, gotong-royong, ramah-tamah dan memiliki semangat kekeluargaan. Namun karakter tersebut seakan sia-sia karena belum menjadi modal untuk menjadi bangsa yang besar dan bermartabat. Kita justru melihat bahwa kekayan karakter yang luar bisa tersebut malah tidak dimanfatkan justru menghasilkan kenyataan yang menyedihkan. Korupsi, inefisiensi kerja, pemalas merupakan cap yang diberikan kepada bangsa kita.

Kemerosotan karakter ini tidak hanya terjadi pada individu maupun kelompok tetapi sudah masuk ke dalam sistem. Dan untuk membenahi sistem ini tentu saja perlu membenahi manusia yang membuatnya. Akan tetapi memperbaiki karakter manusia yang sudah dewasa akan lebih sulit dibandingkan dengan membangun karakter anak-anak sejak dini.
Dalam pembangunan karakter, anak harus dibawa ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan analis secara afektif akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Dalam istilah pedagogiknya disebutkan dari genosis sampai ke praksis. Untuk sampai ke praksis ada satu peristiwa batin yang amat penting yaitu munculnya keinginan yang kuat untuk mengamalkan nilai. Peristiwa ini disebut conatio dan langkah untuk membulatkan tekad ini disebut konatif.
Kita mengetahui bahwa Pendidikan karakter sejak dini merupakan proses edukasi dalam upaya mempersiapkan dan mengembangkan sikap mental sejak awal dalam menghadapi problema kehidupan khususnya remaja. Di dalamnya, terkandung 5 aspek non-fisik yang diharapan bisa terbentuk, yaitu :
a. Kualitas kepribadian (meliputi kedewasaan, ketahanan mental, dan kemandirian)
b. Kualitas bermasyarakat (meliputi kesetiakawanan sosial dan kemampuan bermasyarakat)
c. Kualitas kekaryaan, kualitas wawasan lingkungan dan kualitas spiritual keagamaan

6. Kebudayaan
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.

7. Penerapan Kunjungan Budaya dan Kuliah Alam
1. Definisi
Kunjungan Budaya dan Kuliah Alam merupakan sebuah paket acara yang dilaksanakan secara beruntun selama 3-4 hari dikonsep dengan acara pemberian materi tentang karakter dan berbagai pergerakan mahasiswa yang harus disikapi dan diaplikasikan oleh masing-masing peserta. Di dalamnya terkandung pengenalan budaya setempat yang di dalamnya terkandung substansi dan nilai-nilai bagi pembangunan karakter berbasis kearfan lokal.
2. Tujuan
Tujuan kegiatan ini adalah membangun karakter mahasiswa baru dengan menyadarkan mereka bahwa mereka adalah generasi penerus bangsa berlandaskan nilai-nilai kearifan lokal yang berada di daerahnya. Dengan mengenal budaya serta nilai-nilai yang ada diharapkan mahasiswa selain dapat mengenal budayanya sendiri juga dapat mengambil nilai-nilai positif yang ada. Dengan nilai-nilai positif ini diharapkan dapat menjadi dasar pijakan bagi untuk membangun Indonesia dan bersaing di dunia global.
3. Sasaran Peserta
Sasaran pesertanya adalah mahasiswa baru. Mahasiswa baru ini dibagi menjadi 2-4 kelompok. Pembagian ini semata-mata dimaksudkan untuk memotivasi mahasiswa baru tentang perlunya kerjasama tim dalam menggalang pergerakan.


4. Pelaksanaan Program
Paket kegiatan ini dilakukan selama 3-4 hari. Dilaksanakan di alam bebas misalnya di komplek perkemahan dan objek-objek kebudayaan yang berada di sekitar lingkungan siswa. Dalam pelaksanannya didasarkan pada pedoman pembangunan karakter yang telah dibuat dengan standar yang telah ditentukan oleh panitia / BEM kampus setempat.

C. Kesimpulan dan Saran
Kunjungan Budaya dan Kuliah Alam adalah cara efektif yang dapat dilakukan sebagai upaya pembangunan karakter bagi mahasiswa baru dengan menekankan nilai-nilai kearifan lokal. Hal ini cukup mudah dilaksanakan karena disesuaikan dengan kondisi individu masing-masing. Materi yang disampaikan pada acara ini mengambil dari kebudayaan setempat yang menagandung nilai-nilai kearifan lokal. Serta menyuguhkan berbagai materi atau suplemen tentang kemahasiswaan, sebagaimana layaknya acara-acara kaderisasi sebuah organisasi mahasiswa kampus. Namun bedanya, idealnya acara ini diselenggarakan oleh sebuah instansi resmi kampus seperti BEM atau Himajur, dan sebagainya.
Saran untuk ke depan :
1. Perlu adanya perhatian khusus dari seluruh pemangku kebijakan yang berkenaan dengan pendidikan agar dapat memperhatikan pengenalan dan penanaman kearifan local kepada mahasiswa baru.
2. Sebagai bahan masukan kepada pemerintah terutama pada perancannagan kurikulum agar memeprbanyak porsi isi kurikulum dalam hal pemabangunan karakter, denagn melandaskan diri pada kebudayaan dan
nilai local yang terkandung didalamnya.
3. Program Kunjungan Budaya dan Kuliah Alam dapat digunakan sebagai alternatif pilihan sbagai ekstrakurikuler ataupun program pengisi yang bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar