Kamis, 24 November 2011

“Pendekatan Profil Guru dan Pendekatan Budaya : Solusi Pembangunan Karakter Bangsa Indonesia Masa Kini dan Masa Depan”

Oleh :
Muhammad Basir Matondang (**)

Latar Belakang
Kita prihatin dengan berbagai konflik yang telah terjadi di beberapa daerah di tanah air. Pertahanan sosial masyarakat Indonesia seolah-olah gampang jebol oleh hal-hal sepele. Maka terjadilah berbagai penyimpangan-penyimpangan social yang mampu memberikan dampak negative terhadap keberlangsungan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini bertambah parah dengan merasuknya penyimpangan social tersebut ke dalam ranah pendidikan. Yang notabenenya pendidikan merupakan sector pemerintah yang konsen terhadap penggodokan, penempaan dan ranah penciptaan generasi penerus yang unggul.

Masih segar dalam ingatan kita berbagai pemberitaan di media massa maupun media elektronik, Tawuran antar pelajar, geng-geng motor, narkoba, dan lain sebagainya 90% melibatkan remaja, generasi penerus bangsa. Dari berbagai penyimpangan tersebut sudah banyak memakan korban jiwa. Bahkan seluruh instansi penegak hukum pun kalang kabut akibat dari tindakan-tindakan asocial tersebut. Padahal konon selama ini, masyarakat Indonesia tergolong aman, tenteram, harmoni dan memiliki daya tahan social yang cukup bagus. Tapi itulah yang terjadi sekarang.

Jika boleh berpendapat. Masalah keharmonisan sangat tergantung pada konstruksi. Boleh jadi, dulu masyarakat Indonesia suka terlibat dalam konflik, hanya tidak terpublikasi secara meluas seperti sekarang ini. Namun, jika di telaah lebih mendalam lagi, sesungguhnya tidak ada masyarakat yang benar-benar bebas akan konflik. Mindset masyarakat Indonesia terlalu lalai dengan mitos bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dan berperadaban tinggi. Lalu ketika terjadi konflik, hal ini dianggap tabu dan melanggar adat istiadat. Sehingga muncullah pemberitaan yang terkesan dilebih-lebihkan . Hal ini berlanjut sampai sekarang. Makanya, secara langsung maupun tidak langsung, konflik di Indonesia menyerang dua pihak yang memiliki peran penting dalam percaturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Yaitu pihak pelaku yang di dominasi oleh pelajar dan pihak media yang seharusnya memberikan keterangan yang sesungguhnya malah merontokkan konstruksi social masyarakat.

Karena itu, yang diperlukan sekarang adalah merekonstruksi kembali bangunan moral dan social masyarakat. Kita harusnya terbuka dengan berbagai instansi pemerintah dalam menjalankan tugas pokok dan fumgsinya terutama pihak kepolisian yang menjalankan tugasnya langsung berhadapan dengan masyarakat. Namun, lebih dari itu kita menghendaki ada strategi jangka panjang untuk merekonstruksi tatanan social dalam masyarakat Indonesia agar tercipta masyarakat yang dewasa, maju dan bermoral tinggi. Dan jawabannya hanya akan di dapatkan di dunia pendidikan.

Selayang Pandang Wajah Pendidikan di Indonesia.
Membicarakan pendidikan di Indonesia, agaknya tidak akan pernah selesai. Tujuan akhir dari pendidikan di Indonesia seperti di tutupi oleh kelamnya kabut permasalahan bangsa. Berbagai seminar, lokakarya, pelatihan bahkan undang-undang tentang pendidikan sudah sering dilakukan dan diperbuat oleh pemerintah Indonesia. Tapi hasilnya justru kadang-kadang membuat system pendidikan kita semakin tidak terarah. Apalagi pameo : ganti menteri, ganti kurikulum sepertinya masih terjadi. Dan itu dianggap tidak salah.

Belum lagi ancaman sekulerisasi pendidikan oleh berbagai kepentingan. 66 tahun Indonesia merdeka, pendidikan di Indonesia mengalami proses politisasi dan proses komersialisasi yang menyedihkan. Politisasi dilakukan oleh negara dengan cara melaksanakan berbagai kebijakan yang berubah-ubah yang bermaksud untuk menjinakkan daya kritis anak-anak generasi penerus bangsa. Proses seperti ini adalah proses alami yang mampu tereduksi ke ranah kognitif anak-anak yang menanamkan bahwa pendidikan hanyalah sebuah nama tanpa kebijakan dan program yang jelas. Sehingga mampu mempengaruhi pola piker dan tingkah laku anak dalam melakoni pendidikan itu sendiri. Proses doktrinisasi seperti ini paling tampak pada masa orde lama dan orde baru.

Lewat politisasi pula penyeragaman system dan kurikulum pendidikan dipaksakan. Dengan demikian upaya masyarakat yang “bosan” terhadap doktrin politis ini melahirkan pendidikan alternatif yang steril dari virus politisasi selalu dihambat atau malahan dilumpuhkan. Sebab dikhawatirkan, pendidikan alternatif akan menghasilkan generasi bangsa yang kritis, idealis dan mampu merumuskan segala permasalahan bangsa serta memecahkan masalah tersebut di luar jalur yang dikehendaki oleh negara.

Dalam proses sosiologi, 66 tahun pula kita mengenal apa yang disebut dengan proses komersialisasi dalam pendidikan di Indonesia. Hal ini berawal dari kegelisahan masyarakat. Masyarakat yang terus berubah dan berkembang pesat membutuhkan sumber daya manusia yang tidak sekedar berkapasitas sebagai tukang rendahan. Lebih dari itu, merekan membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Ternyata kebutuhan itu tidak di jawab oleh departemen dan lembaga-lembaga pendidikan yang seyogyanya sudah dikendalikan oleh negara.

Dengan demikian, masyarakat menempuh jalannya sendiri. Untuk pengembangan anak bangsa perlu berbagai fasilitas infrastruktur yang membutuhkan biaya mahal. Berbagai upaya dilakukan oleh masyarakat hingga akhirnya melahirkan berbagai pendidikan alternatif. Parahnya, system ini diadopsi oleh berbagai lembaga pendidikan yang dikendalikan oleh negara. Muncullah isu adanya kelas unggulan sekolah unggulan dan sebagainya. Tentunya kita tidak akan menyalahkan hal tersebut. Selama itu memberikan dampak positif dan mampu mendongkrak kualitas alumni-alumni pendidikan. Namun ada beberapa fenomena. Hal seperti ini dijadikan ladang oleh kaum kapitalis untuk meraup untung yang sebesar-besarnya. Sehingga muncullah kesan pendidikan mahal. Dan masyarakat hanya bisa melihat proses ini secara berkelanjutan tanpa mengevaluasi perjalanan pendidikan alternative tersebut. Dan babak baru dalam dunia pendidikan pun dimulai, komersialisasi pendidikan yang menjamur.

Guru : Actor of Character Building
Fantastik. Bermula dari sebuah isu sampai “booming” sebagai bahan pembicaraan semua ahli pendidikan di Indonesia. Pendidikan Karakter sepertinya menjadi secercah harapan di tengah ombak dan badai kompleksitas permasalah pendidikan Indonesia. Bermula dari kegelisahan yang bisa dirasakan oleh nurani setiap orang. Sepintar apapun seseorang ternyata tidak menjamin mulianya akhlak seseorang.

Di luar negeri, mereka memikirkan generasi penerus ke depan. Oleh karena itu, khususnya di pendidikan mereka menempa generasi penerus yang memiliki integritas moral yang tinggi, sopan santun dan berakhlak mulia. Bisa jadi hal ini tercapai karena dalam proses pendidikan, mereka melibatkan semua elit politik, presiden, public figure, lingkungan dan keluarga untuk turut mencontohkan kebaikan kepada mereka. Jadi seolah-olah semua perisitiwa yang terjadi di sekitar siswa menjadi bahan pembelajaran dan bahan renungan bagi siswa, bukan hanya pelengkap kurikulum semata.

Kita bandingkan dengan Indonesia. Indonesia tidak kekurangan orang-orang yang pintar untuk melahirkan gagasan mengangkat keterpurukan Indonesia. Namun kebanyakan orang yang pintar malah dilatih untuk menindas orang yang bodoh. Korupsi merajalela, jabatan system dinasti, dan komersialisasi merambah ke semua lini pemerintahan. Contoh kecilnya perekrutan personil atau PNS untuk setiap jenjang lembaga pemerintah seperti jualan tahu. Mau lulus sebagai PNS, berani bayar berapa?. Inilah salah satu bentuk komersialisasi.

Pendidikan karakter bisa diaplikasikan dengan bermacam-macam pendekatan. Diantaranya adalah pendekatan profil guru dan pendekatan budaya. Secara historis, berbagai momen kebangkitan di Indonesia di mulai oleh pergerakan kaum terdidik. Nama besar seperti Sutomo, Soekarno, Hatta dan Syahrir merupakan kaum terdidik yang kemudian memberikan kontribusi riil terhadap kebangkitan bangsa. Mereka adalah guru bangsa yang memiliki karakter yang luar biasa. Soekarno bahkan disegani oleh pemimpin negara lain di masanya.

Sekarang, dengan mencuatnya pendidikan karakter. Mau tidak mau, sosok guru menjadi tumpuan awal yang bermain sebagai aktor dalam pembangunan karakter itu sendiri. Masalahnya, bagaimana mungkin seorang guru atau bahkan seorang presiden sekalipun memainkan peran sebagai aktor pembangunan karakter sementara mereka sendiri tidak memiliki karakter yang mumpuni dalam melakoni proses pengkaderan tersebut.

Hal ini akan terjawab jika Guru memiliki kesadaran yang tinggi terhadap etik profesi guru. Merenungi kembali tupoksi-nya sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Dan yang terpenting adalah guru menyadari bahwa dia adalah insane yang terdidik dan terlatih untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertanggung jawab penuh terhadap moral anak bangsa di masa depan. Kesadaran merupakan hal awal yang harus dibangun oleh sosok guru.

Guru sebagai actor pembangunan karakter harus memiliki keteladanan yang baik bagi anak didiknya. Keteladanan ini bisa berbentuk pengayoman dan pemberian ilmu pengetahuan tanpa membedakan anak didik berdasarkan suku, agama dan ras. Di sisi lainnya adalah memberikan keteladanan untuk mematuhi peraturan sekolah, tutur sapa, dan sebagainya. Trik-trik keteladanan bisa dimulai dengan hal-hal yang sederhana seperti di atas.

Guru juga harus mampu mendesain berbagai program pembelajaran yang memiliki muatan-muatan positif terhadap perkembangan kognitif, afektif dan psikomotor anak didik. Salah satunya adalah dengan mengaktifkan berbagai kegiatan ekstra yang bisa jadi mengurangi kegiatan siswa “diluar” yang memiliki potensi negative terhadap perkembangan anak.

Pendekatan Budaya
Pendidikan karakter untuk membangun karakter bangsa khususnya generasi penerus sebenarnya bukan wacana yang baru. Hal ini sudah dilakoni oleh Soekarno pada zaman dahulu. Saat beliau menjabat sebagai presiden republic Indonesia, melalui kebijakannya beliau membangun sebuah stadion yang pada zamannya merupakan salah satu stadion dengan teknologi tinggi dan tergolong megah. Yah, Stadion Gelora Bung Karno merupakan contoh konkret pembangunan karakter bangsa melalui pendekatan budaya. Saat itu, pembangunan stadion tidak main tender seperti yang terjadi pada wisma atlet sekarang. Dahulunya, stadion tersebut di bangun melalui gotong royong seluruh masyarakat Indonesia. Budaya gotong royong inilah yang menjadikan stadion tersebut berdiri tegak. Bahkan saat itu merupakan salah satu stadion pali fenomenal di dunia.

Kemudian, Soekarno juga membangun sebuah bangunan yang bersejarah saat itu. Tugu Monumen Nasional yang sering kita kenal dengan nama Tugu Monas. Pembangunan tugu yang sekarang menjadi ikon ibu kota Jakarta ini dahulunya sempat mendapat kritikan dari berbagai kalangan, terutama kalangan mahasiswa. Karena saat itu, penempaan emas sebagai puncak tugu dianggap sebagai pemborosan. Namun, dampaknya bisa kita rasakan sekarang. Kota Jakarta, Ibu kota negara republic Indonesia terkenal dengan tugu Monas-nya. Dan bangsa lain mengacungkan jempol terhadap bangunan tersebut.

Seolah-olah Soekarno memiliki prediksi sempurna terhadap masa depan Bangsa dengan berbagai kebijakannya. Terbukti bahwa pendekatan budaya bisa menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat dan berkarakter di mata bangsa lain.

Yang terjadi sekarang ini adalah pertarungan budaya. Budaya global memiliki kekuatan yang teramat kuat. Ia menggilas tidak saja budaya local, tetapi juga melindas budaya nasional. Kekuatan budaya global tersebut didukung oleh kekuatan media komunikasi, baik itu televise, internet, Koran-koran dan majalah. Yang menjadi persoalan adalah budaya global merupakan ciptaan dari budaya barat yang notabene tidak sama dengan budaya bangsa Indonesia yang condong dengan budaya timur.

Karena adanya pertarungan budaya tersebut, disinilah momentum untuk menempa karakter anak didik dengan sadar akan kepemilikan atas budaya sendiri, jangan sampai hasil budaya bangsa Indonesia di klaim dan di rampas oleh bangsa lain. Secara alami, idealisme anak didik akan tumbuh sampai akhirnya mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku anak. Anak akan bangga dengan Indonesia, dan akhirnya mampu berkontribusi riil bagi bangsa dan negara serta masyarakat Indonesia. Tanpa sadar, maka tercapailah Indonesia yang yang aman, tentram, harmoni dan memiliki ketahanan social yang tinggi.

Penutup
Kemarin adalah sejarah. Hari esok adalah Misteri. Tetapi hari ini adalah anugerah. Setidaknya perkataan bijak ini tidak berlebihan menjelaskan tentang keberadaan bangsa dan negara kita. Apapun yang telah terjadi, jadikanlah itu sebagai pelajaran hidup, direnungi dan dievaluasi sebagai pegangan kita masa kini dan masa depan. Kita tidak bisa melihat arah pendidikan karakter di masa depan, tapi kita bisa melihat pendidikan karakter kemarin dan hari ini.
Diharapkan dengan hadirnya sosok guru, sosok pahlawan tanpa tanda jasa mampu memberikan pencerahan pendidikan dengan memainkan perannya sebagai aktor pembangunan karakter. Menghasilkan generasi-generasi unggulan dan siap bersaing di kancah era persaingan bebas. Penempaan prinsip, sopan santun, integrasi moral yang tinggi dan karakter yang kuat akan membimbing individu melahirkan idealism yang berdampak positif terhadap ketahanan social dan ketahanan nasional bangsa Indonesia.
Demikian pula dengan pendekatan budaya. Rasa kepemilikan akan budaya bangsa sendiri secara alami akan menumbuhkembangkan idealism yang kuat. Bagaimana kelanjutannya ? Waktu akan menjawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar